Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa menyangkut tentang berita terorisme dan korupsi merupakan sebuah pemberitaan yang sarat akan muatan-muatan yang berbau politik, kekerasan, kekuasaan, dan materi berupa uang. Hal ini tentunya mengundang perhatian dari publik, dimana secara tidak langsung suatu kegiatan terorisme dan korupsi pasti menyangkut tentang keselamatan,keamanan, dan kesejahteraan orang banyak (khalayak). Menanggapi hal ini media tentunya bisa membaca situasi tentang apa yang khalayak ingin ketahui. Keterkaitan antara Media dengan terorisme dan korupsi sarat akan aspek bisnis, dimana melalui pemberitaanya tentang masalah terorisme dan korupsi di media akan mendapat perhatian utama dari khalayak karena menyangkut hal tadi tentang keselamatan, keamanan dan kesejahteraan khalayak. Khalayak pun berupaya keras untuk bisa mengakses media tersebut agar mendapatkan informasi yang mereka cari. Jika sudah begitu faktanya, maka jelaslah keuntungan bisnis akan berpihak pada media yang mendapatkan akses yang banyak dari khalayak. Dan keuntungan publikasi akan diperoleh, yang bertujuan menyampaikan pesan politik kepada pemegang kekuasaan.
Hal ini pun dapat kita tinjau dari salah satu teori Komunikasi Massa yaitu tentang Model Agenda setting. Model ini untuk pertama kali ditampilkan oleh M.E Mc. Combs dan D.L Shaw dalam “Public Opinion Quarterly” terbitan tahun 1972 yang berjudul “The Agenda-Setting Funcition of Mass Media”. Kedua pakar tersebut mengatakan bahwa “jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting”. Tatkala mengadakan studi terhadap pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1968 ditemukan korelasi yang tinggi antara penekanan berita dan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh para pemilih. Disimpulkan bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Studi selanjutnya yang dilakukan McComb dan Shaw menunjukkan bahwa meski surat kabar dan televisi sama-sama mempengaruhi agenda politik pada khalayak, ternyata surat kabar pada umumnya lebih efektif dalam menata agenda ketimbang televisi.
Tetapi David H. Heaver dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting and Media Manipulation” pada tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak merefleksikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaleidioskop yang menyaring dan membentuk cahaya (the press does not reflect reality, but rather filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it). Contohnya dalam gerakan kampanye, berita surat kabar dan televisi tidak hanya sekedar merefleksikan hal-hal, peristiwa-peristiwa dan argumen-argumen yang dikampanyekan, melainkan menyeleksi dan membentuknya menjadi bernilai berita. Dalam hal itu, calon dalam pemilihan umum beserta kualitas citranya dalam pemberitaan diberi penekanan sehingga lebih menonjol bagi para pemilih ketimbang mereka yang tidak diberi penekanan.
Mengenai agenda setting itu, Alexis S Tan selanjutnya menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara :
1. Media secara efektif mengkonfirmasikan peristiwa politik kepada khalayak.
2. Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.
Sementara itu Manhein dalam pemikirannya tentang konseptualitas agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting menyatakan bahwa agenda setting meliputi tiga agenda yaitu, agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijaksanaan. Masing-masing agenda itu mencakup dimensi-dimensi sebagai berikut :
• Untuk agenda media, dimensi-dimensi :
1. Visibility (Jumlah dan tingkat menonjol bagi khalayak)
2. Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak) (relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak).
3. Valence (Valensi) (menyenangkan atau tidaknya cara pemberitaan bagi suatu peristiwa).
• Untuk agenda khalayak, dimensi-dimensi :
1. Familirity (keakraban) (derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu).
2. Personal salience (penonjolan pribadi) (relevansi kepentingan dengan ciri pribadi).
3. Favorability (kesenangan) (pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita).
• Untuk agenda kebijaksanaan, dimensi-dimensi :
1. Support (dukungan) (kegiatan bagi posisi suatu berita tertentu).
2. Likelihood of action (kemungkinan kegiatan) (kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan).
3. Freedom of action (kebebasan bertindak) (nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah).
Konseptualisasi Manheim tersebut mendukung perkembangan teori agenda setting secara menyeluruh (Servin dan Tankard, Jr. 1922 : 226).
Dari uraian mengenai kajian teori agenda setting tersebut maka media secara otomatis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemilihan jenis berita yang akan disebarkan melalui tiap-tiap pemberitaannya. Tentu media harus jeli melihat kebutuhan informasi yang sedang menjadi perhatian ditengah-tengah masyarakat. Salah satu agenda dari teori Agenda setting menyatakan bahwa agenda media berorientasi pada agenda khalayak yang berarti bahwa media harus bisa memenuhi informasi apa yang pada saat ini sedang menjadi konsumsi khalayak.
Dalam kaitannya dengan masalah pemberitaan, terorisme dan korupsi merupakan sebuah sajian berita yang memiliki nilai berita yang sangat tinggi. Aktualitas mengenai peristiwa terorisme dan korupsi merupakan sebuah pemberitaan yang sangat dibutuhkan oleh khalayak. Hal ini membuat media-media yang berorientasi bisnis pasti memanfaatkan peluang untuk meraup keuntungan dengan cara membaca agenda khalayak. Terorisme misalnya, merupakan suatu peristiwa besar yang erat kaitannya dengan kepentingan khalayak. Sebuah kegiatan terorisme bisa memberikan pengaruh secara global yang berdampak keberbagai aspek kehidupan orang banyak. Kehadiran kegiatan terorisme memerlukan publikasi melalui media. Keberhasilan sebuah kegiatan terorisme secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh pemberitaan yang dilakukan oleh media, yang bisa diartikan bahwa terorisme membutuhkan dan melibatkan media. Hal ini dimungkinkan karena tujuan utama dari kegiatan terorisme adalah usaha untuk menyampaikan pesan kepada pemegang kekuasaan. Dalam pesan yang disampaikan tersebut sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur politis dan kekerasan dan berhasil atau tidaknya penyampaian pesan tersebut sangat dipengaruhi oleh kinerja media sebagai sarana dan fasilitator untuk publikasi.
Di sisi lain, setidaknya ada beberapa alasan mengapa media “ikut memanfaatkan” peristiwa terorisme dan korupsi :
1. Kejahatan selalu merupakan good news bila perhatian utamanya hanya menjual koran atau program televisi.
2. Terorisme dan Korupsi merupakan sebuah sajian berita yang memiliki nilai berita yang sangat tinggi.
3. Media membawa banyak cerita dengan kandungan kekerasan,politik, dan kekuasaan karena merasa publik memintanya agar tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengecam mereka.
4. Kehidupan khalayak yang “membosankan” karena disiksa rutinitas tidur, berangkat, dan bekerja, membutuhkan berita-berita kekerasan dan seks sebagai thrill (gairah, getaran).
5. Kadangkala ada kelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan para teroris dan koruptor, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides.
Persoalannya kemudian adalah bila terjadi peningkatan liputan yang dilakukan media massa terhadap aktivitas terorisme, apakah itu berarti sejalan dengan meningkatnya aktivitas terorisme di masyarakat atau sekedar meningkatnya pelaporan (reportase) terhadap aktivitas terorisme?. Pada tataran ini keterlibatan media massa dalam masalah kekerasan, kekuasaan, dan politik. Dalam fungsi utamanya sebagai penyaji informasi, media massa bertindak cepat dan berusaha sempurna memberitakannya. Frekuensi serta intensitas media massa tertentu terhadap tindak kekerasan dengan sendirinya juga berbeda-beda. Sangat bergantung pada kecekatan dan kepekaan wartawan, orientasi media massa dan bidang yang digelutinya, serta pengaturan sebuah sistem media massa terhadap aktivitas mass media enterprises-nya kepada publik.
Begitu pula bila media massa menjalankan fungsinya yang lain. Dari sisi fungsi persuasi, misalnya, pemberitaan media massa secara tidak langsung memberi guide pada pembaca untuk bersikap terhadap suatu tindak kekerasan atau yang lainnya. Kecenderungan isi pemberitaan media massa diyakini memiliki kekuatan tertentu dalam membentuk kecenderungan pikiran seseorang, dan lebih jauh lagi kecenderungan tindakan orang. Artinya, sebuah aksi kekerasan akan cenderung mendapatkan pembenaran atau reaksi sebaliknya, bila isi media massa merefleksikan dua arah itu.
Dalam kaitannya dengan masalah pemberitaan tentang terorisme dan korupsi, secara langsung maupun tidak langsung maka dapat dikatakan bahwa media juga membutuhkan berita yang dapat terus dikonsumsi oleh khalayak, sehingga memberikan keuntungan bagi perkembangan media tersebut. Jika kita berbicara tentang hal tersebut maka erat kaitannya dengan aspek-aspek bisnis yang melekat pada media itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa media memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan fungsinya, baik itu biaya operasional, perawatan alat-alat dan bangunan, gaji karyawan, sampai pada infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya.
Keterkaitan antara Media dengan terorisme dan korupsi sarat akan aspek bisnis, dimana melalui pemberitaanya tentang masalah terorisme dan korupsi di media akan mendapat perhatian utama dari khalayak. Khalayak pun berupaya keras untuk bisa mengakses media tersebut agar mendapatkan informasi yang mereka cari. Jika sudah begitu faktanya, maka jelaslah keuntungan bisnis akan berpihak pada media yang mendapatkan akses yang banyak dari khalayak. Dan keuntungan publikasi akan diperoleh, yang bertujuan menyampaikan pesan politik kepada pemegang kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
M.E Mc. Combs dan D.L Shaw. 1972. Public Opinion Quarterly-The Agenda-Setting Funcition of Mass Media.
David H. Heaver. 1981. Media Agenda Setting and Media Manipulation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar