I.PRINSIP-PRINSIP DASAR
Meskipun terdapat berbagai pendekatan berlainan terhadap proses atribusi, pendekatan-pendekatan tersebut berhenti pada serangkaian prinsip dasar umum yang diacu sebagai teori atribusi (Attribution Theory). Semuanya ini berkenaan dengan seluruh proses pembuatan atribusi sebab-akibat : yakni apa yang memotivasikan orang untuk memberikan penjelasan mengenai sebab-akibat, bagaimana mereka mereka menentukkan penyebab mana yang paling penting, dan berbagai distrosi dalam proses atribusi yang mencegah orang untuk sampai kepada penjelasan sebab-akibat yang akurat. Marilah kita mulai dengan mempertimbangkan yang paling mendasar diantara berbagai prinsip atribusi ini.
1.1. Bermula Psikologi Naif dari Heider (Pembuat Teori Atribusi)
Pembuatan teori tentang atribusi dimulai Fritz eider (1946 – 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflk. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang atau (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Ia merasa tertarik akan cara orang menggambarkan dalam angan-angan apa yang mengakibatkan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana lazimnya tradisi kognitif dalam psikologi sosial, ia mengemukakan dua motif kuat dalam diri semua manusia, yakni : kenutuhan membentuk pengertian mengenai jagad raya yang tgerpadu, dan kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan.
Salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut ialah kemampuan meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Jika kita tidak mampu meramalkan bagaimana orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak, memebrikan kejutan, dan tidak terpadu. Kita tidak akan tahu apakah kita harus mengharapkan pujian atau hukuman untuk prestasi kerja kita. Begitu pula, kita harus mampu meramalkan perilaku orang lain agar dapat memperoleh tingkat kendali yang memuaskanatas lingkungan kita. Untuk menghindari kecelakaan, kita harus mampu meramalkan bahwa truk besar itu tidak akan berbelok secara tiba-tiba pada tikungan huruf U di depan kita. Untuk dapat meramalkan bagaimana orang lain akan berperilaku, kita harus mempunyai sedikit teori dasar mengenai perilaku manusia, Menurut Heider, setiap orang dan bukan hanya para psikolog saja, mencari penjelasan atasperilaku orang lain. Hasilnya ia namakan Psikologi Naif – yaitu teori umum mengenai perilaku manusia, yang dianut oleh setiap orang awam.Yang Memandang Individu sebagai psikolog amatir yang memcoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukkan apa penyebab apa, atau siapa yang mendorong siapa melakukan apa. Respon yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Dan teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an.
1.2. Dimensi Sebab – Akibat
a. tempat sebab-akibat
Heider juga mengatakan bahwa kita mengorganisasikan pikiran-pikiran kita dalam kerangka ”sebab dan akibat”. Masalah pokok paling umum dalam persepsi sebab-akibat adalah menentukkan apakah suatu tindakan tertentu menurut kesimpulan Anda disebabkan keadaan intern atau kekuatan ekstern. Maksudnya, apakah ”tempat sebab-akibat?” Misalnya Anda minta kepadawanita muda yang duduk disamping Anda di ruang kuliah untuk nonton bersama akhir minggu ini, tetapi ia menolak karena minggu ini ia sibuk sekali. Apakah inti ”sebenarnya” dari penolakkannya tersebut? Hal itu mungkin disebabkan karena beberapa keadaan intern, seperti misalnya dia tidak tertarik kepada Anda, atau dia lebih tertarik mengerjakkan hal lain. Atau bisa juga dikarenakan faktor ekstern seperti, misalnya dia memang benar-benar mempunyai tugas lain.
Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokkannya dengan orang-orang disekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep ”Causal Attribution” – proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu :
1. penyebab internal (internal causality)
merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal seperti tekanan orang lain, uang, sifat situasi sosial, cuaca dan seterusnya.
2. penyebab eksternal (eksternal causality)
terdapat dalam lingkungan atau situasi seperti keadaan hati, sikap, ciri kepribadian, kemampuan, kesehatan, preferensi, atau keinginan.
Jadi, apakah wanita muda tadi benar-benar sibuk (atribusi eksternal), atau apakah dia baru saja memutuskan bahwa dia tidak tertarik berkencan dengan Anda (atribusi intern)?. Dan yang jadi masalah utama ialah apakah harus dibuat kesimpulan intern atau kesimpulan ekstern terhadap perilaku pemberi stimulus. Pengambilan kesimpulan ekstern menguraikan sebab-akibat kepada segala sesuatu yang berada di luar orang tersebut seperti lingkungan umum, orang yang diajak berinteraksi, peranan yang dipaksakan, kemungkinan mendapat hadiah atau hukuman, keberuntungan, sifat khusus tugas, dan selanjutnya. Penyabab intern mencakup ciri kepribadian, motif, emosi, keadaan hati, sikap, kemampuan, dan usaha.
b. stabilitas atau instabilitas
Dimensi sebab-akibat (causalitas) kedua ialah apakah penyebabnya stabil atau tidak stabil. Maksudnya, kita harus tau apakah penyebab tersebut merupakan bagian menarik yang relatif permanen dari lingkungan ekstern atau pembawaan intern orang itu. Ada beberapa penyebab ekstern yang cukup stabil seperti peraturan dan undang-undang (larangan untuk menjalankan kendaraan pada waktu lampu merah menyala,m atau larangan menyakiti lengan pelempar bola beseball yang bagus di pihak lawan).
Beberapa penyebab ekstern bersifat tidak stabil : cuaca banyak sekali mempengaruhi apakah kita akan berbelanja di malam minggu atau tinggal di ruma membaca buku, namun cuaca itu banyak sekali ragamnya. Adakalanya tendangan bola dapat dikendalikan, namun adakalanya lebih mudah menendang tanpa arah. Itu berarti bahwa keberhasilan seorang pemain bola tergantung dari penyebab ekstern yang tidak stabil.
Dan penyebab intern dapat bersifat stabil maupun tidak stabil. Dengan kata lain, penyebab dapat terdiri atas berbagai kombinasi dari kedua dimensi tersebut. Sebuah gambar tipologi Weiner mengenai penugasan hasil sederhana, dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang mahasiswa dalam melakukan tugas tertentu dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari empat kemungkinan penyebab, yaitu : kemampuan, usaha, nasib baik, dan kesulitan tugas. Dan keempat penyebab itu masuk secara serasi dalam keempat kategori, seperti ditunjukkan dalam tabel ini.
Skema Klasifikasi Bagi Penyebab Perilaku Prestasi Diamati
STABILITAS TEMPAT KENDALI SEBENARNYA
INTERN EKSTERN
Stabil Kemampuan, Bakat, Kecerdasan, Karakteristi Fisik Kesulitan Tugas
Tidak Stabil Usaha, Mood, Kelelahan Berhasil,Nasib, Ketidaksengajaan, Kesempatan
Sumber : Weiner (1974), hal.6
c. kemampuan mengendalikan
Menurut Weiner (1982), dimensi umum ketiga atribusi adalah kemampuan mengendalikan. Kita mengamati adanya beberapa kasus yang dapat dikendalikan seorang individu, sedangkan lainnya berada di luar kemampuannya. Kemampuan mengendalikan atau ketidak mampuan mengendalikan itu dapat berada- bersama dengan kombinasi tempat dari kendali dan stabilitas. Contohnya:
1. penyebab intern yang tidak stabil seperti usaha, biasanya dipandang sebagai dapat dikendalikan.Contoh, seorang mahasiswa dapat berusaha untuk belajar giat, atau memutuskan untuk tidak belajar giat.
2. Penebab intern yang stabil seperti kemampuan jarang dilihat sebagai dapat dikendalikan seseorang. Contoh, seorang yang ”dilahirkan sebagai jenius” atau seseorang ”dikaruniai” dan memiliki ”baka sejak lahir” dipandang tidak menguasai kemampuannya tersebu. Kadangkala, kemampuan dipandang dapat dikendalika. Beberapa orang yang sangat sukses dipandang bahwa ia telah mengembangkan kemampuannya melalui kerja keras dalam jangka waktu yang lama. Di samping itu, keberhasilan adakalanya dipandang dapat dikendalikan meskipun sering kali dianggap tidak dapat dikuasai.
Ringkasnya, mudah bagi kita untuk memikirkan kombinasi apapun dari ketiga dimensi dasar atribusi sebab-akibat.Ketiga dimensi itu merupakan dimensi yang paling masuk akal di antara berbagai atribusi sebab-akibat. Mereka juga amat sering dipergunakan untuk menjelaskan hasil. Dari telaah yang menanyakan penilaian mahasiswa terhadap prestasi rekan-rekannya, atau atas pengalaman nilai sekolah yang dicapainya ketika berada di SMA, terlihat bahwa penjelasan terhadap sebab-akibat cenderung terletak pada dimensi yang mendasarinya ini. (menurut analisis faktor yang dilakukan Meyer, 1980; dan Meyer & Koebl, 1982).
1.3. Dua Prinsip Sederhana
Bagaimana kita sampai pada suatu atribusi? Teori atribusi dimulai dengan dua prinsip sederhana, yaitu :
1. prinsip variasi bersama
Menurut Heider, prinsip variasi bersama berarti bahwa kita cenderung mencari hubungan antara pengaruh tertentu dengan penyebab tertentu di antara sejumlah kondisi yang berlainan. Jika sebuah penyebab tertentu selalu dihubungkan dengan pengaruh tertentu dalam berbagai situasi, dan jika pengaruhnya tidak terdapat karena tiadanya penyebab, maka kita memperhubungkan pengaruh tadi dengan penyebab. Penyebab selalu bervariasi bersama dengan pengaruh ; dan jika penyebab tidak ada, maka pengaruh pun tidak ada. Contoh rekan sekamar Anda marah-marah dan mengeluhkan segala sesuatu sebelum ujian, tetapi menyenangkan jika tidak ada ujian. Apakah kita menyimpulkan bahwa dia memang seorang pemarah- yaitu dia memang memiliki kepribadian pemarah? Mungkin tidak. Sebaliknya, kita akan menghubungkan keluhan-keluhannya dengan rasa tegang yang berhubungan dengan ujian, dan bukan karena dia pemarah. Kemarahannya hampir selalu diasosiasikan dengan ujian dan tidak muncul jika tidak sedang ada ujian, sehingga kita menghubungkannya dengan ujian dan bukan kepada kepribadiannya. Seperti psikolog yang naif, orang awam mengamati perilaku orang lain dan mencari pengaruh tetap yang tidak bervariasi, yang mengikuti stimulus tertentu. Dengan cara itu mereka akan sampai kepada sebuah atribusi.
2. prinsip keraguan
Prinsip pokok lain guna membuat kesimpulam sebab-akibat ialah yang disebut Kelley sebagai prinsip keraguan yaitu ”peranan penyebab tertentu untuk menghasilkan pengaruh tertentu diragukan kebenarannya jika penyebab lain yang masuk akal juga hadir” (1972, hal.8). Maksudnya, kita membaut kesimpulan yang kurang meyakinkan, dan kurang mengatribusikan pengaruhnya kepada suatu penyebab tertentu, jika terdapat lebih dari satu kemungkinan penyebab. Contoh seorang wira niaga asuransi bersikap sangat manis kepada kita dan menawarkan kopi, namun kita tidak dapat membuat kesimpulan yang meyakinkan, mengapa dia sedemikian ramahnya?. Kita dapat menyimpulkan perilakunya kepada rasa suka murni terhadap diri kita. Lebih mungkin lagi, kita meragukan kemungkinan penyebabnya dan mengatribusikan perilaku orang tadi sebagian karena dia menghendaki usaha kita. Sebaliknya, jika orang itu tahu bahwa kita tidak memiliki uang untuk membeli pois asuransi, kita tidak perlu memiliki keraguan, karena keinginan terhadap usaha kita bukan lagi merupakan penyebab yang masuk akal.
II. ATRIBUSI TENTANG DIRI SENDIRI
Salah satu hipotesis yang paling menarik dalam teori atribusi adalah bahwa orang sampai kepada persepsi keadaan intern mereka sendiri dengan cara yang sama dengan jika mereka sampai pada persepsi tentang keadaan orang lain. Gagasan ini berasal dari asumsi umum bahwa emosi, sikap, ciri, dan kemampuan kita seringkali tidak jelas dan meragukkan kita sendiri. Kita harus menyimpulkannya dari perilaku terbuka kita dan persepsi kita tentang paksaan lingkungan di sekitar kita.
Pendekatan tersebut menyatakan bahwa dalam persepsi diri sendiri, seperti halnya persepsi terhadap orang lain, maka kita mencari asosiasi penyebab-akibat tetap serta menggunakan prinsip keraguan untuk membagi tanggung jawab tentang berbagai sebab yang masuk akal. Jika kita mempersepsikan paksaan ekstern yang kuat mendorong untuk sampai ke atribusi situasional. Andakata kita terdapat paksaanekstern yang jelas, kita mengasumsi bahwa atribusi disposisional akan lebih cepat. Pendekatan ini telah banyak mendorong diadakannya riset tentang persepsi diri sendiri atas sikap, motivasi, dan emosi.
2.1. Sikap
Sudah sejak lamapara psikolog mengasumsikan bahwa orang menilai sikap mereka sendiri melalui introspeksi, yaitu dengan meninjau kembali berbagai kognisi dan perasaan secara sadar.
2.2. Motivasi
Gagasan yang sama telah diterapkan terhadap persepsi diri akan motivasi. Gagasannya adalah bahwa pelaksanaan tugas demi penghargaan tinggi, akan menjurus kepada atribusi eksternal yaitu, saya melakukannya karena telah dibayar tinggi untuknya. Melaksanakan tugas yang sama dengan penghargaan rendah akan menjurus kepada atribusi intern yaitu saya tidak seyogianya telah melakukannya demi sedikit uang tersebut, sehingga saya harus sudah melakukannya karena saya benar-benar menikmatinya. Hal ini akan menjurus kepada ramalan paradoksal bahwa penghargaan rendah akan menjurus ke minat intrinsik yang amat besar akan suatu tugas karena orang tersebut mengartibusikan pelaksanaan tugas tadi dengan minat intrinsik, dan bukan dengan penghargaan ekstrinsik. Dengan kata lain, pembenaran berlebihan untuk terlibat ke dalam suatu aktivitas akan merongrong minat intrinsik akan aktivitas tersebut.
Penghargaan adakalanya menimbulkan akibat yang tidak diinginkan, yaitu : penghargaan itu dapat menjauhkan orang secara aktual dari segala aktivitas yang mungkin akan mereka nikmati, dan bukannya memberikan dorongan. Hukuman pun dapat membuat aktivitas terlarang kelihatan lebih menarik, meskipun bukti mengenai hal ini lebih sedikit jumlahnya.
2.3. Emosi
Para ahli teori tradisional tentang emosi menyatakan bahwa kita mengenal apa yang kita rasakan dengan mempertimbangkan keadaan fisiologis kita sendiri, keadaan mental kita, dan stimulus ekstern yang menyebabkan keadaan tersebut. Namun, bukti terakhir menunjukkan bahwa berbagai reaksi emosional secara biokimia serupa. Kita dapat membedakan rangsangan tinggi dari rangsangan rendah, tapi tidak dapat membedakan berbagai jenis emosi. Sebagai contoh, sukar sekali membedakan berbagai jenis emosi. Sebagai contoh, sukar sekali membedakan antara rasa cemburu yang berlebihan dari rasa cinta yang besar. Oleh karenanya, kita memerlukan informasi lain guna mengidentifikasikan emosi kita.
Stanley Schacter (1962) telah mengambil pendekatan persepsi-diri-sendiri berdasar emosi. Ia menyatakan bahwa persepsi terhadap emosi kita tergantung dari :
1. Tingkat rangsangan fisiologik yang kita alami dan
2. Ciri kognitif yang kita terapkan seperti ”marah” atau ”senang.”
Untuk sampai kepada ciri kognitif, kta meninjau perilaku kita sendiri serta situasinya. Jika secara fisiologik kita terangsang dan mentertawakan pertunjukkan komedi di televisi, maka dapat kita simpulkan bahwa kita merasa senang. Jika kita membentak seseorang karena dia telah mendorong kita dijalan yang padat, maka dapat kita simpulkan bahwa kita marah. Pada setiap kasus, perilaku dan interpretasi kita tentang keadaan akan melengkapi kita dengan ciri kognitif yang memungkinkan kita untukmenginterpretasikan pengalaman intern kita mengenai rangsangan emosi. Seperti teori Bem tentang teori persepsi-diri-sendiri, segi pandangan in kembali menekankan sifat meragukan dari keadaan intern, dan karena itu persepsi-diri-sendiri sangat bergantung dari persepsi atas perilaku yang timbul dan lingkungan ekstern.
III. ATRIBUSI TENTANG ORANG LAIN
Prinsip-prinsip teoritis ini biasanya diterapkan pada atribusi tentang mengatribusikan perilaku orang lain. Pertanyaan yang paling pokok adalah sebagai berikut :
• Bilakah kita menarik kesimpulan bahwa tindakan orang lain mencerminkan pembawaan sejati seperti ciri, sikap, keadaan hati, atau keadaan intern lainnya?
• Bilakah kita menyimpulkanbahwa orang lain sesuai dengan situasi eksternnya?Atau guna lebih menempatkannya secara kontras.
• Bilakah kita membuat kesimpulan pembawaan yang bertentangan dengan kesimpulan situasional?
Kita tahu bahwa orang tidak selalu melakukan atau mengatakan apa yang diyakininya. Seorang tawanan perang mungkin akan mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan sikapnya yang sebenarnya. Atau, seorang pemudabarangkali akan gembira dan bahagia di sekolah setelah semalam ia ditinggal pergi pacarnya. Sebaliknya, adakalanya tawanan perang mengungkapkan kecaman yang murni keluar dari hatinya terhadap rencana penyerangan negaranya. Hal ini pasti terjadi di Vietnam pada beberapa serdadu Amerika dan penerbang. Dan pemuda tadi mungkin merasa lega sejati karena hubungan dengan pacarnya selama ini membuatnya tertekan. Jadi, bagaimana kita dapat membedakan bilakah tindakan seseorang itu benar-benar merupakan cerminan sikap internnya atau merupakan ciri lain?
Prinsip keraguan menyatakan bahwa terlebih dahulu kita harus mempertimbangkan apakah paksaan ekstern yang mungkin akan mengarahkan seseorang untuk salah menempatkan sikapnya yang sejati atau tidak. Contohnya, apakah seseorang mengarahkan senjatanya ke kepala orang tersebut? Jika demikian, dapat dibuat atribusi ekstern. Tidak terdapatnya paksaan ekstern masuk akal semacam itu., Penyebab ekster tetap akan meragukkan sifatnya, dan harus dibuat atribusi intern, yakni : orang tersebut harus benar-benar bersikap sesuai dengan perkataannya.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi, Edisi revisi. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Sears, D.O., Freedman, J.L, Peplau, L.A. 1991. Psikologi Sosial. Jilid 1 & 2. (terjemahan). Jakarta : Penerbit Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar