Sabtu, 22 Mei 2010

GLOBALISASI & MEDIA

GLOBALISASI & MEDIA
Dian Febriani/208000141
Makalah ini membahas tentang globalisasi berdasarkan kelebihan dan kekurangan globalisasi dalam hal teori. Sehingga sentralitas media dan komunikasi merupakan ciri utama dari globalisasi. Dan dengan muncul organisasi supranasional maka globalisasi berjalan dengan konsep free trade, neoliberalisme dan sejenisnya dengan penyebaran yang didukung oleh media global seperti CNN, Hollywood dll yang dipegang oleh penguasa kapitalisme.

I. Awal Mula dan Pemikiran-pemikiran Tentang Pengertian Teori Globalisasi
Berawal dari penurunan terhadap teori-teori media dan imperialisme budaya secara tiba-tiba. Pada awal 1990-an, teori-teori media dan imperialisme budaya telah menjadi marginal (tersisih) untuk perdebatan tentang komunikasi internasional. Penurunan ini adalah hasil dari politik dan kegagalan intelektual yang merupakan bagian dari kemunduran yang jauh lebih luas dari ide-ide dan pergerakan di tahun 1980-an. Dan hal ini berdampak bahwa konsep globalisasi telah menggantikan paradigma imperialisme budaya sebagai cara berpikir utama tentang media internasional. Dan kemudian, ide-ide baru ini mencerminkan sebagai pemikiran yang baru.
Teori globalisasi tidak bisa dipisahkan dari teori-teori general. Dan menilik pada teori-teori globalisasi menunjukkan bahwa teori tersebut dapat membentuk paradigma yang berbeda untuk memahami komunikasi internasional. Dalam hal ini, tidak ada satu teori globalisasi yang menguasai common assent (kesepakatan bersama). Sebaliknya, ada banyak persaingan tentang teori globalisasi. Tetapi disamping tidak adanya common assent tersebut, ada kesepakatan tertentu bahwa globalisasi berarti interconnectedness (terkait satu sama lain) yang lebih besar dari teori-teori general, dan diluar teori-teori general tersebut berbeda pada dasarnya. Ambil satu contoh konsep teori sosial yaitu modernitas yang berarti integrasi masyarakat ke modernitas kapitalis, dengan semua implikasinya terhadap ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Hal itu terurai pada beberapa pemikiran-pemikiran seperti Giddens dan Appadurai, globalisasi terbentuk di dalam dan melalui penyebaran modernitas. Sedangkan untuk Robertson, modernitas jelas merupakan proses yang berbeda dari globalisasi. Dan untuk Albrow dan Bauman sendiri, menurut mereka usia global itu adalah periode yang datang setelah modernitas. Dan akhirnya, ada penulis seperti Herman dan McChesney dalam bidang media, mengatakan kapitalisme adalah penguasa kategori usia, dan mereka menggunakan istilah 'globalisasi' untuk mengartikan sesuatu yang hampir tidak dapat dibedakan dari imperialisme. Maka untuk membedakan antara globalisasi dengan modern, maka diperlukan karakteristik dari globalisasi dan modernisasi itu sendiri dengan melihat ciri-ciri dari masing-masing keduanya yang antara lain adalah :

Ciri-ciri Globalisasi Ciri- ciri Modern
• Tranformasi komunikasi • Rasional
• Tranformasi teknologi • Tepat waktu
• Tranformasi informasi • Fungsi
• Tranformasi transportasi

Dari sekian penulis diatas belum ada yang menunjukkan adanya kesepakatan karena tidak semua penulis ini dapat dikelompokkan bersama-sama sebagai bagian dari arus yang sama. Bahkan antara teoritis yang berbeda secara radikal pada masalah sekunder atau yang kurang penting, untuk membentuk pemikiran yang cukup berbeda yang diberi label dengan paradigma globalisasi. Maka diperlukan untuk mensintesiskan paradigma globalisasi tersebut dengan mengidentifikasi karakteristik yang berbeda yang mendasari teori paling menonjol dari globalisasi. Dan teori-teori diatas dapat membentuk kerangka konseptual yang beroperasi tentang paradigma globalisasi.

II. ”Strong” dan ”Weak” Globalisasi dalam Teori
Dari para penulis yang telah memaparkan tentang globalisasi, mereka semua menggunakan kosakata globalisasi, tetapi sebenarnya beroperasi pada kerangka intelektual yang berbeda. Dalam kerangka konsep intelektual tersebut ada kelebihan dan kelemahan globalisasi dari teori. Kelemahan dari teori globalisasi mungkin terjadi bahwa ada modifikasi terhadap konsep yang digunakan dan kesimpulan yang digambarkan. Tetapi sistem pemikiran, paradigma yang mendasarinya, tetap sama seperti dalam periode sebelumnya. Sedangkan kelebihan dari teori globalisasi yang mendasari teori tersebut menjadi paling menonjol yang menunjukkan suatu hal baru yang radikal dari masa saat ini, baik objek pemikiran sosial dan teori-teori dan metode yang sesuai untuk studi teori ini berbeda dari sebelumnya. Perbedaan inilah yang membuat paradigma baru globalisasi.
Kelebihan dari teori-teori globalisasi menggambarkan dirinya secara radikal berbeda dari teori-teori sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa dunia di mana kita ada saat ini secara radikal berbeda parameter dari masa sebelumnya. Dan ini akan menampilkan ciri, khususnya tingkat keterkaitan yang Strikingly new (baru menyolok). Sehingga bentuk-bentuk sosial baru ini menuntut cara-cara pemikiran baru yang sangat berbeda menyangkut teori-teori sebelumnya.
Ciri karakteristik dari global age (zaman global) adalah ciri generalisasi secara tidak lengkap yang hadir di masa sebelumnya. Masa globalisasi ini berbeda jauh bahwa kecenderungan pembangunan yang terjadi telah mencapai poin yang diakibatkan dari interaksi mereka yaitu suatu tatanan sosial baru. Sebuah contoh yang jelas yang bisa dipahami yaitu dalam kaitannya dengan media antara lain televisi global, yang didefinisikan karakter global yang berbeda dalam faktanya bahwa globalisasi dibentuk oleh serangkaian proses yang terkandung dinamis dari modernitas dan sebagai konsep yang mengacu untuk kompresi dunia dan kesadaran intenfikasi dunia sebagai keseluruhan.
Kita dapat mengatakan bahwa globalisasi membentuk era baru sejarah manusia. Dengan ini dimaksudkan, hukum konstitutif sosial tentang periode globalisasi pada dasarnya berbeda dengan periode sebelumnya. Ini dapat digambarkan sebagai masa kapitalisme, atau modernitas tinggi, atau bahkan masyarakat industri, yang tergantung pada posisi ideologis dari komentatornya. Tetapi kelebihan dari teori globalisasi menolak usaha penjelasan monocausal (sebab tunggal) dan menekankan kompleksitas dan ketidakpastian dari hubungan di dunia global, bahwa budaya global ekonomi baru dipahami sebagai suatu yang kompleks, tumpang tindih, tidak berkesinambungan yang tidak dapat lagi dipahami dalam center-periphery model (model pusat pinggiran yang ada). Kompleksitas ekonomi global saat ini berkaitan dengan disjunctures (tidak bersinggungan) antara ekonomi, budaya, politik yang hampir tidak mulai berteori (Colin.S 2007:129). Beck menyatakan bahwa "berbagai logika otonom dari globalisasi antara lain logika ekologi, budaya, ekonomi, politik, dan masyarakat sipil yang keberadaannya berdampingan dan tidak dapat dikurangi atau diruntuhkan satu ke yang lainnya”, sedangkan Held dan rekan-penulisnya mengatakan bahwa untuk menjelaskan globalisasi kontemporer sebagai produk dari logika ekspansif kapitalisme, atau difusi (penyebaran) global budaya populer, atau ekspansi militer, perlu satu sisi dan reduksionis (Colin.S 2007:130).
Teori-teori globalisasi umumnya sangat kritis terhadap upaya untuk menawarkan satu faktor yang menjelaskan dinamika media, atau bagian lain apapun dari sistem sosial. Dalam pandangan mereka (Beck, Held & Giddens), salah satu karakteristik kunci dunia kontemporer yang menandai itu dari periode sebelumnya adalah perlunya kompleksitas.
Di dunia Ketiga, modernitas hampir identik dengan penaklukan. Di bagian dunia ini, modernitas merupakan hasil proses modernisasi yang lebih berbobot sebagai Westernisasi (kebaratan). Kesemuanya itu melibatkan proyek-proyek kekuasaan yang jejak historisnya terbentang dari era penaklukan Dunia Ketiga, penyebaran imperialisme, dan dominasi kapitalisme Barat, hingga upaya-upaya kontemporer ke arah homogenisasi dan pencapaian konsensus global terhadap berbagai ide dan etika produk modernitas Barat (termasuk berbagai Marxisme, kapitalisme, liberalisme, dan positivisme).
Dalam istilah konvensional, era saat ini dalam sejarah umumnya ditandai sebagai salah satu globalisasi, revolusi teknologi, dan demokratisasi. Dalam ketiga wilayah ini, media dan komunikasi memainkan, pusat peran yang menentukan role. Ekonomi dan budaya globalisasi dijelaskan, tidak mungkin tanpa suatu sistem media global komersial untuk mempromosikan ”free Trade” (pasar global) untuk mendorong nilai-nilai konsumen. Inti dari revolusi teknologi adalah pengembangan radikal dalam komunikasi digital dan komputerisasi.

III. Sentralitas dari Media dan Komunikasi
Kelebihan dari teori globalisasi berpendapat bahwa globalisasi memiliki khas dan sosial baru yang dinamis di tempat-tempat yang cukup penekanan pada media dan komunikasi sebagai pusat realitas sosial kontemporer. Media komunikasi penting sebagai ciri utama globalisasi. Barker, misalnya, mengidentifikasi kemajuan teknologi dimungkinkan oleh jaringan digital dan menulis bahwa organisasi media memungkinkan untuk beroperasi pada skala global dengan membantu dalam proses komunikasi organisasi internal dan membiarkan produk-produk media yang akan didistribusikan di seluruh dunia. Dengan kata lain media massa didedikasikan untuk menyebarkan standar nasional dalam bahasa, budaya dan perilaku.
Ini dapat digambarkan pada sosok Bill Gates, dan Larry Ellison, atau bahkan Rupert Murdoch, yang merupakan pusat untuk mengemudi keterkaitan dunia, yang menghapuskan isolasi daerah, pengembangan dan integrasi global memfasilitasi mobilitas yang merupakan pusat dari zaman kontemporer. Apa pun pandangan-pandangan pribadi para pendukung mereka, teori-teori globalisasi mengenali bahwa sifat kegiatan usaha pengusaha tersebut melambangkan cenderung mendorong globalisasi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa globalisasi terbentuk di dalam dan melalui penyebaran modernitas dan didalam bidang media pun mengatakan kapitalisme adalah penguasa kategori usia, dan mereka menggunakan istilah 'globalisasi' untuk mengartikan sesuatu yang hampir tidak dapat dibedakan dari imperialisme. Dengan begitu teori-teori globalisasi mengenali tindakan tersebut sebagai unsur yang diperlukan dalam perubahan sosial, yang aktornya lebih disukai cenderung ke pengusaha (kapitalis).

IV. Tumbuhnya Organisasi Supranasional
Dengan munculnya organisasi supranasional (diatas negara seperti WTO, IMF dan Word Bank) membuat globalisasi menjadi berjalan dengan konsep Free Trade, neoliberalisme dan sejenisnya. Dengan begitu penguasa baru dunia telah datang yang kekuasaan mereka telah mengalahkan kerajaan Inggris raya. Lembaga-lembaga seperti IMF, Word Bank dan WTO ini adalah agen-agen negara-negara terkaya dimuka bumi khususnya Amerika Serikat yang dibentuk menjelang akhir PD II untuk membangun kembali perekonomian eropa, dengan memberlakukan sistem free trade, neoliberalisme dan sejenisnya itu yang mereka sebut sebagai ”resep global atau pembangunan global” yaitu dengan pinjaman/hutang/investasi, kemudian dengan meminjamkan uang ke negara miskin dengan syarat dapat memasuki ekonomi negara miskin dan perusahaan barat diperbolehkan untuk mengolah bahan mentah dan pasar dinegara tersebut, sehingga dengan hutang itu digunakan sebagai alat agar kebijakan lembaga-lembaga tersebut dapat diterapkan dibanyak negara-negara dunia ketiga (kondisi ini adalah negara termiskin yang sudah berada dalam lingkaran setan kemiskinan, mereka tidak bisa keluar bahkan penghapusan hutang pun tidak mampu menyelamatkan mereka dari perangkap kemiskinan karena banyak hutang diberikan dibawah tekanan lembaga-lembaga internasional atau kolusi pemerintah yang tidak memihak rakyatnya).
V. Munculnya Produk-produk Media Global
Hubungan sistem media global untuk pertanyaan imperialisme adalah kompleks. Pada 1970-an, banyak Dunia Ketiga dimobilisasi melalui PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya Organisasi untuk melawan imperialisme budaya Barat. Dunia Ketiga negara maju merencanakan untuk New World Information and Communication Order (NWICO) untuk membahas konsen mereka bahwa dominasi Barat atas jurnalisme dan budaya membuat hal itu hampir tidak mungkin bagi negara-negara yang baru merdeka untuk melarikan diri dari status kolonial. Konsen serupa tentang dominasi media AS terdengar di seluruh Eropa. Kampanye NWICO adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas pada waktu itu oleh negara-negara Dunia Ketiga yang secara resmi menolak ketidakadilan ekonomi global yang dilihat sebagai warisan imperialisme. Kedua gerakan ini tertusuk pada neoliberalisme yang dipegang oleh Amerika Serikat dan Britania. Dan guna pembentukkan NWICO ini untuk mencegah kekuasaan akan informasi agar tidak terdesentralisasi, dengan kata lain untuk mengimbangi informasi dari negara center (Amerika) terhadap dunia ketiga.
Jurnalisme Global didominasi oleh layanan berita Barat seperti CNN, yang menganggap kapitalisme yang ada, Amerika Serikat, sekutu-sekutunya, dan motif mereka dalam cara yang paling dibayangkan. Sebagai contohnya budaya "Hollywood" dan momok budaya dominasi AS tetap menjadi perhatian utama di banyak negara, karena alasan yang jelas.
Namun, dengan perubahan ekonomi politik global, gagasan bahwa perusahaan media perusahaan hanyalah purveyors (penyetor) budaya AS yang kurang pernah masuk akal sebagai sistem media yang menjadi semakin terkonsentrasi, komersial, dan global. Media global raksasa adalah perusahaan multinasional klasik, dengan pemegang saham, kantor pusat, dan operasi yang tersebar di seluruh dunia. Sistem media global lebih baik dipahami sebagai salah satu bahwa kemajuan korporasi dan kepentingan komersial dan nilai-nilai dan denigrates (mencemarkan nama orang baik) atau mengabaikan hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam misinya. Tidak ada perbedaan dalam konten perusahaan, apakah mereka dimiliki oleh pemegang saham di Jepang atau Perancis atau memiliki kantor pusat perusahaan di New York, Jerman, atau Sydney. Dalam pengertian ini, perpecahan dasar bukan antara negara-bangsa, tetapi antara kaya dan miskin, di seberang perbatasan nasional.
Tapi itu akan menjadi kesalahan untuk gagasan bahwa sistem media global membuat batas-batas negara-bangsa dan kerajaan geopolitik yang tidak relevan. Sebagian besar aktivitas kapitalis kontemporer, jelas mayoritas investasi dan lapangan kerja, beroperasi terutama dalam batas nasional, dan negara-negara mereka yang memainkan peran kunci dalam mewakili kepentingan tersebut. Rezim seluruh dunia adalah hasil dari kebijakan politik neoliberal, mendesak oleh pemerintah AS.

Kesimpulan
Dari elemen-elemen diatas, hal itu membentuk dasar untuk menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan paradigma baru yang merupakan struktur intelektual yang sebanding dengan sebelumnya. paradigma seperti ini yang dikembangkan dalam karya Lerner atau Schiller. Memang benar bahwa paradigma ini jauh kurang koheren (masuk akal), dan sulit untuk mengidentifikasi satu teori pusat yang diuraikan sebagai ciri utama yang dimiliki. Walaupun mungkin Appadurai menjadi calon yang kuat untuk teori tersebut. Namun demikian, hal itu merupakan sebuah cara untuk memandang dunia yang cukup berbeda dari orang lain untuk mendapat sebutan globalisasi. Versi yang kuat dari paradigma globalisasi menyatakan bahwa mereka secara radikal tentang teori-teori baru dikembangkan untuk memahami situasi dunia baru yang radikal. Untuk melakukan hal ini, perlu untuk mengembangkan yang baru dan metodologi non-reduktif.
Paradigma baru ini tidak membuat klaim langsung pada bentuk kegiatan praktis yang dapat menyebabkan perubahan sosial. Salah satu ciri utama zaman baru adalah sistem negara yang didominasi urusan dunia untuk empat abad terakhir, yang kini telah runtuh atau paling tidak di bawah tekanan yang berat. Hal ini diruntuhkan oleh perkembangan bentuk politik supranasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan Uni Eropa dan oleh pertumbuhan kekuatan perusahaan transnasional. Pada saat yang sama, ada kebangkitan lokalisme, baik yang spasial klasik dan bentuk relasional yang baru, meskipun terakhir adalah yang paling penting. Penurunan kekuasaan negara berarti bahwa itu tidak mungkin lagi untuk tujuan mengendalikan pusat atau pusat dalam urusan dunia, yang sekarang muncul sebagai kekacauan tanpa arah dan tanpa motif, walaupun kekacauan kreatif.
Globalisasi berarti modal, uang besar yang dapat dipindahkan kemana dan kapan saja dengan aman. Di Indonesia, globalisasi menimbulkan hutang dan hutang itu melahirkan kesengsaraan, pengangguran, krisis, privatisasi-banyak perusahaan Negara diprivatisasi. Akibatnya rakyat harus membayar mahal untuk kesehatan dan pengangguran (akibat rezim soeharto yang membuka free trade, neoliberalis). Globalisasi telah menyebabkan keadaan dunia penuh dengan ketidakadilan dan diskriminasi contohnya menggunakan buruh dunia ketiga sebagai tempat pengolahan ekonomi adalah bagian dari suatu “resep global atau pembangunan global” seperti dengan pinjaman, hutang dan investasi. Sehingga buruh menjadi korban eksploitasi karena pengangguran meningkat dan Indonesia yang tertimpa krisis ekonomi pada akhir 1990-an akibatnya hilang hak asasi manusia .(Kondisi ini akibat dari Indonesia tumbuh dari hasil penyatuan dengan ekonomi global sejak tahun setelah 1960-an)
Dan hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi masyarakat Negara dunia ketiga adalah pada saat kita berbelanja, tanyalah tokonya :”dibuat dimanakah produk itu?”, ”kondisi kerjanya bagaimana?”, Tulislah surat keperusahaan dan katakan jika ingin kepastian bahwa produk itu berasal dari pabrik yang memperlakukan para buruhnya dengan adil yang mendukung hak buruh untuk membentuk organisasi. inilah cara yang sederhana yaitu bersikap sebagai konsumen yang terinformasi.
Sedangkan untuk bentuk atau tindakan lebih besar yang dapat dilakukan adalah ketika “Kesepakatan multilateral investasi” yang bisa membuat penguasa memaksa pemerintah mencabut peraturan yang tidak menguntungkan bisnis dan ketika hal itu diajukan kepada 29 negara adikuasa dan semua perusahaan multinasional terkaya serta lembaga-lembaga besar seperti WTO yang sudah mendunia maka diperlukan suatu model ekonomi global yang mempunyai pengaturan untuk hal tersebut disetiap Negara. Inilah system yang harus dimiliki internasional, jika berniat adil kepada Negara miskin, para buruh dan semua yang terkena pengaruh oleh “system produksi internasional” Karena, Dokumen US Command menuliskan “globalisasi ekonomi dunia juga akan berlanjut dengan memperlebar jurang antara ”yang kaya” dan ”yang Miskin”, maka diperlukan system pengaturan internasional untuk mengatur hal tersebut.
Pada bidang media massa dan sistem politik, produksi program dan artefak lain terjadi di tempat-tempat yang jauh lebih banyak daripada yang diakui oleh paradigma imperialisme, dan menghasilkan pertukaran program yang mengambil tempat berbeda didalam pasar di mana tidak ada satu pemain yang mendominasi. Di zaman baru ini, media massa sangat penting karena mereka adalah salah satu agen yang mewujudkan transendensi (menjadi sangat berkualitas) keterbatasan ruang yang merupakan ciri ciri globalisasi. Media ini begitu penting bagi pusat konstitusi globalisasi yang juga merupakan pembawa bentuk baru produksi budaya yang benar-benar global dalam lingkup yang mengatasi keterbatasan negara nasional tertentu baik dalam hiburan, berita dan current affairs, ada yang bersifat mendadak dan benar-benar lingkungan penyiaran global. Sehingga globalisasi dalam konteks media massa dan sistem politik tidak bisa ditolak yang dikarenakan segi kelebihan globalisasi tersebut tetapi segi kelemahan dari globalisasi itu pun mengarah kepada satu bentuk imperialisme budaya barat terhadap budaya-budaya lain yang penyebarannya didukung oleh media massa yang mengakibatkan hegemoni kekuasaan barat, kapitalisme, konsumerisme, hedonisme dan individualisme. Lantas idealnya apa yang harus dilakukan? Dan kontrol kekuasaan yang seperti bagaimana yang harus dilakukan?

Tinjauan Kritis
Mencermati realitas masyarakat di era globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk imperialisme budaya barat terhadap budaya-budaya lain. Imperialisme budaya yang dimaksud adalah, tergusurnya nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi kebudayaan global. Proses imperialisme budaya yang terjadi tidak terlepas dari interest (kepentingan) dunia barat dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme melalui media global yang membentuk hegemoni pembentukkan budaya global sebagai satu bentuk ”American Cultural Imperialisme” dan proses percepatan nilai-nilai kapitalis dinegara-negara berkembang. Tanpa kita sadari proses imperialisme budaya inilah yang sedang terjadi dan menimpa masyarakat diseluruh dunia. Indikasi nyata dari proses imperialisme budaya ini yang nantinya akan membentuk budaya global adalah kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, inividualisme, dan penyuguhan idol yang disuguhkan kepada masyarakat melalui berbagai acara hiburan seperti yang disiarkan oleh media-media yang dikemas dengan berbagai bentuk kemasan. Bahkan sihir-sihir tayangan dunia showbiz yang begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali dengan cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk mengkonsumsi apa saja, dan menikmati hidup tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama. Jika liberalisasi dibidang moral ini terus berlangsung, maka krisis identitas sudah sampai pada titik kronis yang akan menjalar dan berjangkit ke seluruh sel-sel tubuh yang mengakibatkan ”kematian” imperialisme kebudayaan yang telah menghilangkan nilai-nilai ontologis dalam realitas kehidupan yang keras. Sehingga tidak mampu menjadi benteng pertahanan dalam melawan arus besar imperialisme. Dengan kondisi ini, lalu muncul suatu pertanyaan dimanakah peran agama dalam membendung nilai-nilai budaya global yang jelas-jelas bertentangan nilai-nilai agama yang di anut?, dan sejauhmana peran tokoh adat, ulama dan pemerintah dalam membentengi anak-anak membentengi negerinya dari kuatnya nilai-nilai imperialisme tersebut?.
Dan inikah sebenarnya yang dikatakan globalisasi, dengan adanya jurang pemisah yang begitu luas dan ketimpangan yang juga begitu meluas antara kaya dan miskin. Dan apakah desa global seperti ini yang disebut-sebut sebagai masa depan umat manusia ataukah ini semata-mata cara lama yang dahulu dilakukan pada zaman raja-raja dan sekarang diteruskan oleh perusahaan multinasional dengan berbagai lembaga keuangan dan pemerintah sebagai penopangnya. Bagi para penganut globalisasi, hanya globalisasilah yang dapat menyatukan manusia dari segala ras diseluruh negara dan bisa menghilangkan kemiskinan dan dapat menciptakan kekayaan secara merata. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yang miskin menjadi semakin miskin sementara yang kaya menjadi semakin luar biasa kaya. Sisi keberhasilan ekonomi dari globalisasi adalah seseorang bisa membeli apasaja dengan menggunakan uang, tetapi ada sisi yang bertentangan dari sisi tersebut yaitu kehidupan seseorang yang tidak kaya seperti buruh .[ ]


DAFTAR PUSTAKA


Film Karya John Pilger berjudul “The New Rules of The World”. 2002

Karin Walh J and Thomas H. 2009. The Handbook of Journalism Studies. Routledge: New York.

Spark, Colin. 2007 .Globalization, Development and Mass Media. Sage Publications : London.
Media Massa dan Partisipasi Politik Warga Negara
Dian Febriani
Selain menyoroti peran media sebagai pemeriksa aktor pemerintah, cerita Montesinos yang menyoroti tentang pentingnya potensi media sebagai mekanisme perubahan sosial. Sebagaimana disebutkan pada bukunya Christoper J Coyne tentang “Media, Development and Institutional Change” awal video dari pertemuan Montesinos dengan Kouri yang disiarkan di Channel N. Pada waktu itu, Channel N memiliki pangsa pasar yang relatif kecil, kurang dari 5 persen dengan basis hanya berlangganan dalam puluhan ribu (Bowen dan Holligan 2003: 332-337). Channel N dengan mendirikan televisi di jalanan sehingga orang yang lewat dapat melihat video. Awalnya itu bisa terlibat dalam jurnalisme investigatif dan mengekspos korupsi Montesinos dengan menayangkan video. Ini menunjukkan bahwa bahkan ketika negara sangat mempengaruhi industri media yang lebih luas, namun masih bisa untuk mekanisme penting dari perubahan. Siaran Channel N dari tape Kouri Montesinos tentang penolakan publik dimulai terhadap korupsi yang merajalela dalam pemerintahan Fujimori.
Dalam pengertian ini, media berfungsi sebagai mekanisme koordinasi bagi penduduk Peru. Publik yang berulang-ulang menayangkan vladivideos itu menciptakan pengetahuan umum dari korupsi pemerintahan, yang mengarah ke respon terpadu terhadap perilaku seperti itu. Publik menayangkan vladivideo untuk memecahkan masalah kordinasi ini dengan menciptakan pengetahuan umum tentang korupsi Montesinos. Karena media siaran ulang rekaman itu, warga negara Peru dan orang lain tahu tentang korupsi pemerintah. Lebih lanjut, Pembayaran penyuapan yang diperlihatkan pada video yang memberikan bukti tak terbantahkan pada penyalahgunaan politik Montesinos. Pengetahuan umum yang diciptakan oleh siaran publik dari vladivideos Peru memungkinkan warga untuk mengkoordinasikan pada reaksi umum kepada kejahatan pemerintahan Fujimori (McMillan dan Zoido 2004: 20-21).
Kebebasan media adalah sejauh mana pemerintah mengontrol atau mempengaruhi isi dan kecilnya informasi media yang disediakan untuk mencapai warganya. Warga negara di negara-negara maju sering mengambil kebebasan media untuk diberikan dan fokus pada anggapan adanya bias ideologis dalam pelaporan dimedia (lihat misalnya Goldberg 2003 dan Kuypers 2002). Di negara-negara di mana media tidak bebas, isunya adalah salah satu dari luas dan besarnya kepemilikan negara dan pemerintah memanipulasi media melalui ancaman, suap, dan langsung dan tidak langsung tekanan keuangan. Freedom House menghasilkan kebebasan tahunan tentang laporan Pers yang mengukur kebebasan media di negara-negara di seluruh dunia. Freedom House yang mengukur indeks kebebasan media negara dengan mempertimbangkan berbagai faktor: lingkungan hukum mereka, lingkungan politik mereka, dan lingkungan ekonomi mereka. Pentingnya media sebagai sebuah mekanisme untuk memantau pemerintah dan menghasilkan perubahan kelembagaan, ditambah dengan fakta bahwa media di hampir dua-pertiga dari dunia ini, baik "Partly Free" atau "Tidak Bebas," menunjukkan bahwa sangat penting untuk memahami faktor yang mempengaruhi efektivitas media.
Pentingnya Kebijakkan dan Lembaga untuk Pembangunan Ekonomi
Mengingat hal ini, penting untuk membedakan antara kebijakan dan lembaga-lembaga dan untuk memperjelas hubungan antara lembaga dan pembangunan ekonomi. Lembaga dapat dipahami sebagai aturan formal dan informal yang mengatur perilaku manusia, dan penegakan aturan-aturan (Utara 1990). Contohnya, negara-membuat konstitusi, perundang-undangan, dan standar formal. Sebaliknya, lembaga informal berkembang dari waktu ke waktu dan bukan hasil dari rancangan yang disengaja. Mereka mencakup, misalnya, norma, konvensi, dan apa yang umumnya disebut sebagai budaya. Media dapat memainkan peranan penting dalam mempengaruhi dan memperkuat kedua lembaga tersebut dan kebijakan. Penegakan baik lembaga formal dan informal dapat terjadi melalui internalisasi norma-norma tertentu tentang perilaku mereka, tekanan sosial pada individu yang diberikan oleh kelompok, atau kekuatan penegak pihak ketiga yang mengancam untuk menggunakan kekerasan terhadap individu-individu yang melanggar aturan .
Mengingat pentingnya lembaga untuk kinerja ekonomi, bagaimana kualitas lembaga muncul di mana mereka sudah tidak ada? Bagaimana negara saat ini dicirikan oleh lembaga-lembaga yang berkualitas rendah yang berbelok arah dengan kemajuan dan pembangunan ekonomi? Dalam konteks ini, perubahan kelembagaan memerlukan pergeseran dalam sistem kepercayaan yang mendasar. Hal ini jelas bahwa individu-individu bergantung pada model mental yang tidak lengkap karena mereka tidak dapat mengetahui lengkap, kemungkinan kesempatan yang saat ini ada atau akan ada di masa depan.
Memahami proses perubahan kelembagaan dengan demikian mensyaratkan untuk mengidentifikasi mekanisme yang dapat mengubah sistem-sistem kepercayaan yang mendasar dari anggota masyarakat. Penting untuk dicatat bahwa evolusi sistem kepercayaan endogen dan terjadi di dalam struktur yang formal dan lembaga informal. Struktur yang ada ini akan memepengaruhi dan membatasi evolusi lembaga. Agar lembaga resmi dapat beroperasi secara efektif, mereka harus didukung oleh lembaga informal. Namun, lembaga formal, apakah didukung oleh lembaga informal atau tidak akan mempengaruhi evolusi lembaga informal? Sementara lembaga informal membatasi efektivitas lembaga formal, lembaga formal yang ada secara bersamaan mempengaruhi dan membatasi evolusi lembaga informal. Mereka melakukannya dengan membuat dan menegakkan aturan-aturan formal melalui yang mana individu dihadapkan pada keyakinan dan kemungkinan alternatif. Tujuan mereka adalah untuk membatasi kesadaran warga negara kemungkinan kelembagaan alternatif. Jika seorang diktator mencegah mereka yang hidup di bawah dia tidak merasa terkena bentuk-bentuk alternatif ekonomi, politik, dan organisasi sosial, warga tidak dapat memasukkan alternatif-alternatif dalam sistem kepercayaan mereka. Karena ini, evolusi lembaga informal, dan karenanya lembaga formal, dibatasi.
Peran Dual Media
Dalam kedua teoritis dan analisis diterapkan media yang menekankan peran ganda media.
1. Media dapat mempengaruhi kebijakan dalam institusi.
2. Media dapat berfungsi sebagai katalisator bertahap dan perubahan dramatis kelembagaan, dan sebagai sebuah mekanisme untuk memperkuat perubahan tersebut setelah mereka terjadi.
Media dapat menjadi katalisator perubahan kelembagaan, serta sebagai sarana untuk memperkuat perubahan setelah mereka terjadi. Tiga efek khusus media mengenai kebijakan dan institusi (lihat Coyne dan Leeson 2009):
1. Efek Bertahap. Media mengacu pada kemampuan untuk memperkenalkan perubahan dengan perlahan-lahan marjinal, mempengaruhi konsumen tentang gagasan, persepsi, dan informasi.
2. Efek Baca. Hal ini mengacu pada kemampuan media untuk memfasilitasi perubahan kelembagaan utama. Dalam perannya ini, potensi media massa mengaktifkan tip poin, membantu dramatis perubahan kelembagaan. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi layak himpunan kebijakan yang dapat diadopsi.
3. Penguatan Efek. Hal ini mengacu pada kemampuan media untuk memperkuat yang sudah ada kesetimbangan yang mereka bentuk. Kapasitas yang sama dari media untuk menghasilkan pengetahuan umum untuk menciptakan perubahan.
Dalam analisis berikut, kita menempatkan penekanan khusus pada berbagai faktor yang ketiga yaitu pengaruh efek media mengenai kebijakan dan institusi. Di satu sisi, kita tahu perubahan lembaga-lembaga kadang-kadang secara dramatis dan cepat. Di sisi lain, karakteristik utama dari sebuah lembaga adalah ketahanan mereka. Bagaimana kita mendamaikan mengamati perubahan-perubahan kelembagaan dengan kelembagaan ketahanan? Efek media massa, selain sebagai mekanisme spesifik yang menjelaskan perubahan kelembagaan dan ketahanan. Media berfungsi sebagai katalisator perubahan yang bertahap dan juga sebagai sarana untuk memperkuat kebijakan dan lembaga yang ada.


Sumber : Coyne, Christopher J and Leeson, Peter T. 2009. "Media, Development and Institutional Change". Edward Elgar Publishing Limited :UK.

Power, Politics, and the Civil Sphere

Power, Politics, and the Civil Sphere
Dian Febriani
Negara adalah sumber pemaksaan dalam masyarakat modern, tetapi politik dan kekuasaan adalah tentang suatu hal yang lebih banyak daripada negara. Negara memberikan payung untuk politik modern, tetapi begitu pula ruang sipil. Politik berasal dari ruang sipil, yang bertujuan untuk mendorong kekuasaan negara dalam mengarahkan; membuatnya bekerja untuk suatu kepentingan daripada hal yang lain. Tujuan ini ditetapkan sebagai konflik yang komunikatif dalam ruang sipil. Untuk mengartikulasikan hal ini, kekuasaan negara merupakan tujuan dan imbalan dari politik modern.
POLITIK
Menurut Max Weber makna modern politik yaitu ”Politics as a Vacation” yang menekankan tentang martabat politik dan alam yang khas. Dan mengingatkan kepada para siswa yang radikal bahwa politik dapat secara efektif dilakukan dalam kerangka negara.
Dalam konteks negara, politik adalah tentang suatu hal untuk mendapatkan atau kehilangan suatu kekuasaan. Politik menarik kita menjauh dari birokrasi yang bersifat umum, dari penekanan modern pada rasionalitas dan efisiensi. Membawa pada kepentingan pribadi dan sumber daya. Jelas analisis politik ini bergerak dari impersonal ke pribadi, dari negara untuk partai, dari perintah untuk persuasi, dari aturan untuk suara, dari organisasi ke individu. Ini juga memungkinkan kita untuk berpikir tentang gambar dan budaya tentang manipulasi simbolis.
WEWENANG DAN LEGITIMASI
Dan kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan kehendak seseorang meskipun ada perlawanan, lebih mudah dan lebih efektif untuk menjalankan kekuasaan. Kekuasaan otoritas memiliki legitimasi. Kekuasaan dapat disahkan dalam istilah yang lebih bersifat pribadi, dengan mengacu pada seorang pemimpin yang berkarisma.
WEWENANG POSTMODERN : Kharisma dan Budaya
Menurut Weber, karisma akan layu dalam menghadapi rasionalisasi modern. Yaitu inspirasi, volatile, inovatif, dan kadang-kadang berbahaya subjektivitas akan ada ketidak cocokkan untuk secara rasional dari birokrasi. Setidaknya selama dua abad, demokrasi dan negara nondekrasi telah menopang penataan ruang publik yang bergantung pada media massa. Kemudian ketergantungan pada media massa itu untuk membangun kekuatan karismatik mereka dalam masyarakat postmodern, startegi politik menjadi semakin sadar diri tentang produksi citra mereka dimedia massa. Meskipun selalu simbolik dan budaya, dalam masyarakat postmodern tindakan politik publik telah menjadi semakin konseptual sebagai ”Performance”politik (Alexander et al.2006).

Pertanyaannya???
Apakah mereka yang berjuang untuk kekuasaan itu konservatif, liberal, atau radikal?? Dan apakah usaha yang keras itu untuk gambaran simbolis yang kuat dipanggung publik serta untuk mengendalikan interpretasi mereka saja?? Dan para intelektual kritikus dan sosiolog kritis yang sering mengutuk penekanan pada ”simbolis politik” sebagai manipulatif dan propaganda, yang berpaling dari kenyataan untuk kepura-puraan, simulasi dan sekedar tontonan belaka.
Perjuangan untuk kekuasaan karismatik, kadang-kadang tak terlihat, oleh bentuk-bentuk lain dari kekuatan sosial. (Mann, 1986, 1993). Bahwa perjuangan karismatik diaktifkan dan juga dibatasi ekonomi dan kekuatan intelektual. Luke mengkritik bahwa ia menangkap satu tingkat politik modern, tingkat yang secara langsung dapat diamati dan bahwa kebijakkan melibatkan preferensi dan partisipasi politik. Luke (1974:15, original italics).Tetapi pada perjuangan politik dalam masyarakat kontemporer tidak ditentukkan oleh kekuatan elit sosial dan birokrasi negara. Mereka sangat dipengaruhi oleh ide-ide moral tentang kewarganegaraan dan hak manusia. Antara kekuatan sosial, disatu sisi, dan kekuasaan negara, disisi lain, ada budaya dan ruang kelembagaan yang dapat disebut sebagai ”Public Sphere” (Alexander 2006: 53-192)
Ruang Publik didefinisikan oleh norma-norma hukum yang menjamin hak individu. Juga didefinisikan oleh perasaan dan nilai-nilai solidaritas yang stres dengan setiap anggota masyarakat lain, tidak peduli apa status mereka atau kekuasaan. Menjadi warga negara tidak hanya berarti menjadi bagian dari negara saja. Ini juga berarti menjadi anggota ruang publik, bagian dari solidaritas yang membayangkan masyarakat sipil mendefinisikan sebuah demokrasi.
Dilihat sebagai warga negara yang berpotensi baik, orang harus menampilkan diri dalam ”wacana Masyarakat Sipil (Publik Sphere)” seperti yang rasional dan jujur, percaya tapi kritis, terbuka bukan rahasia, koperasi tetapi juga independen. Mereka yang berusaha mencapai kekuasaan politik harus berusaha untuk mewakili diri mereka(dalam hal ini kualitas sipil). Untuk melakukannya, mereka membutuhkan media massa. Penonton mereka adalah warga masyarakat. Tujuan mereka adalah untuk mempengaruhi pendapat publik. Karena ruang publik sangat ideal. Hal ini mencerminkan aspirasi dan harapan mengkristal oleh karismatik demokrat. Pemerintah dan negara jelas berbeda dan unik dalam memainkan peran yang kuat pada masyarakat kontemporer. Lembaga-lembaga politik seperti itu tidak ada dalam masyarakat tradisional, atau setidaknya jauh lebih erat dalam agama, keluarga, dan kelompok ekonomi daripada mereka yang berada pada waktu modern. Negara muncul untuk pertama kalinya, berhubungan erat dengan kepentingan kelas bangsawan yang dominan. Negara pertama adalah kediktatoran militer dan administratif, yang secara bertahap menjadi lebih impersonal dan birokratis dalam rangka mencapai kendali yang lebih efisien. Sebagai bentuk kota-kota besar, budaya hidup menjadi lebih hidup, dan intelektual sekuler muncul, dan kemungkinan untuk jenis baru ”Public Sphere” muncul.
Pertanyaan???
Tetapi apakah kelas dominan dan kekuasaan elit membuat demokrasi hanya merupakan janji kosong ?? Dan apakah skandal yang berlimpah-limpah, memperlihatkan korupsi, tidak hanya para pemimpin bisnis tetapi pejabat pemerintah?? Serta apakah indikasi-indikasi skandal ini terus menerus dari ruang publik?


Sumber : K.T. Leicht and J.C. Jenkins. Handbook of Politics.

Budaya Massa Dan Budaya Populer

Budaya Massa Dan Budaya Populer
Dian Febriani

Signifikansi sosial budaya populer dipetakan berdasarkan bagaimana budaya populer itu diidentifikasi melalui gagasan budaya massa. Lahirnya media massa maupun semakin meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan telah menimbulkan berbagai permasalahan, kepentingan sekaligus perdebatan yang masih ada sampai sekarang. Perkembangan gagasan budaya massa, dipandang sebagai salah satu sumber historis dari tema-tema maupun perspektif-persepektif yang berkenaan dengan budaya populer. Hal ini bukan berarti bahwa perdebatan soal budaya massa mempresentasikan sesuatu yang benar-benar baru. Perkembangan gagasan budaya populer terkait dengan perselisihan atas makna dan interpretasi yang mendahului menjadi tampak menonjol dalam perdebatan soal budaya massa. Ada 3 tema atau argumen saling terkait yang menjadi inti teori budaya populer :
1. Apa atau siapa yang menentukkan budaya populer.
2. Berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer.
3. Menyangkut peran ideologi budaya populer.
Yang melahirkan konsep masyarakat massa sebagai salah satu perspektif penting dalam peranan media massa dan budaya massa didalam masyarakat kapitalis modern. Teori masyarakat massa merujuk pada konsekuensi-konsekuensi yang mengganggu dari proses industrialisasi dan urbanisasi yang ada dibalik kelahiran masyarakat massa dan budaya massa. Sebagai usaha mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan konsep budaya massa, teori tersebut mengatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi berfungsi menciptakan apa yang disebut sebagi ”atomisasi” yang berarti bahwa sebuah masyarakat massa terdiri atas orang-orang yang hanya bisa berhubungan satu sama lain seperti atom dalam sebuah senyawa fisika atau kimia, yaitu orang-orang yang kurang memiliki hubungan satu sama lain yang bermakna dan koheren secara moral.
Individu-individu didalam masyarakat massa dibiarkan berbuat sesuka hatinya, semakin sedikit memiliki komunitas atau institusi untuk menemukan identitas atau nilai-nilai untuk hidup, cara hidup yang layak secara moral, karena disebabkan oleh proses yang memunculkannya, tidak bisa memberikan solusi yang tepat dan efektif bagi permasalahan-permasalahan tersebut. Proses atomisasi ini intinya adalah runtuhnya organisasi-organisasi seperti desa, keluarga, dan gereja yang memberikan suatu identitas sosial, perilaku sosial dan kepastian moral bagi individu. Sebaliknya organisasi modern seperti kota dan ilmu pengetahuan tidak bisa melahirkan identitas yang mendefinisikan perilaku maupun moralitas kekinian. Sehingga jika tidak ada kerangka aturan moral yang memadahi, warga masyarakat tidak memiliki nilai moral yang aman, maka yang akan muncul adalah aturan palsu dan tidak berguna, dan akhirnya warga akan berpaling dari moralitas pengganti dan palsu.
Budaya massa memainkan peranan dalam artian budaya massa itu dipandang sebagai salah satu sumber utama suatu moralitas pengganti dan palsu. Tanpa adanya organisasi perantara yang memadahi individu rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi dari lembaga-lembaga utama seperti media massa dan media populer. Teori masyarakat massa merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan adanya potensi yang terbuka bagi propaganda massa, potensi bagi kaum elite dalam memanfaatkan media massa untuk membujuk, mempersuasi, memanipulasi, dan mengeksploitasi orang kebanyakan secara lebih sistematis dan merata dibandingkan sebelumnya. Dan yang terjadi adalah bahwa mereka mengendalikan kaki tangan lembaga-lembaga kekuasaan atas selera massa untuk mengendalikan mereka.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen massa . Budaya massa juga budaya populer yang diproduksi untuk pasar massal. Dan ciri konsepsi budaya massa adalah bahwa budaya massa mempresentasikan suatu budaya yang turun nilainya, remeh, hanya dipermukaan, artifisial, dan baku, sebuah kebudayaan yang menyedot kekuatan budaya rakyat dan budaya tinggi, serta menantang penilaian intelektual selera kultural.
Teori budaya massa ada kaitannya dengan proses Amerikanisasi. Meskipun tidak terpadu didalam setiap versi teori. Bahwa teori massa dapat mengakomodasi gagasan bahwa demokrasi dan pendidikan merupakan perkembangan yang merusak karena telah memberikan kontribusi bagi pembentukkan patologis sebuah masyarakat massa. Hal ini sangat relevan dengan perdebatan soal Amerikanisasi. Budaya populer Amerika yang dipandang membungkus semua kesalahan dalam kaitannya dengan budaya massa. Karena budaya massa dianggap muncul dari produksi massa dan konsumsi komoditas kultural, maka relatif mudah untuk mengidentifikasi Amerika sebagai pusat budaya massa karena masyarakat kapitalis yang sangat erat kaitannya dengan proses-proses tersebut. Dengan dampak demokrasi dalam memecah-mecah hierarki tradisional kelas dans elera, membiarkan ”massa” atau ”masyarakat awam” menentukkan putusan-putusan politik, menjadi mayoritas, dan dalam memastikkan reduksi semua persoalan saat itu sampai pada sebutan persamaan terendah yang menunjukkan bahwa demokrasi dan pendidikan dalam hal ini merupakan suatu gambaran yang sangat bermanfaat. Disinilah arti penting populisme Amerika dan konsekuensi demokrasi dan pendidikan.


Sumber : Strinati, Dominic, 2009, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hlm. 1 - 91

Teori Ekonomi Politik Media VS Teori Budaya (Cultural Studies)

A) Perbedaan utama antara teori ekonomi politik media dengan teori budaya
(Cultural Studies) antara lain adalah :
Perbedaan antara kedua teori tersebut bisa dilacak dengan melihat perbedaan paradigma teori. Secara umum ada dua teori :
1. Teori Mikro (microscopic) yang memusatkan perhatian pada individu, bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan dan memahami media.
2. Teori Makro (macroscopic) bahwa teori ini tidak tertarik pada individu, tetapi lebih memusatkan perhatian pada struktur ekonomi politik. Dalam teori ini, para elit dilihat menggunakan kekuatan ekonomi politik untuk mempertahankan posisi mereka.

Bisa digambarkan pada tabel berikut : (Disarikan dari Baran and Davis, 2000:216)
Teori Mikro (microscopic) Teori Makro (macroscopic)
 Fokus pada individu  Fokus pada struktur
 Bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan media, memahami dan membentuk budaya dalam kehidupan sehari-hari.  Bagaimana elit menggunakan media untuk mempertahankan posisi mereka. Berusaha memahami bagaimana kekuatan ekonomi dan politik menjadi dasar bagi kekuatan ekonomi politik didalam masyarakat.
 Teori mikro  Teori makro

 Teori budaya bisa dikategorikan sebagai teori mikro. Teori ini berupaya memahami bagaimana media dipakai dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara teori ekonomi politik melihat bagaimana seseorang dipengaruhi oleh media, dan media itu sendiri dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik.
 Teori ekonomi politik lebih menekankan pada struktur. Bagaimana elit dan struktur ekonomi politik menggunakan media untuk menyebarkan gagasan atau pendapat kepada khalayak. Sementara teori budaya berfokus pada individu. Bagaimana individu menggunakan media, menafsirkan dan memaknai pesan-pesan media. Misalnya, penelitian mengenai pemberitaan media dalam kasus terorisme, media banyak menampilkan sisi human interest dari para teroris, misalnya mengenai pengakuan orang tua dan keluarga dekat mengenai kehidupan teroris, perasaan anggota keluarga yang kehilangan, dan sebagainya. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin terkait dengan keamanan dan keselamatan bagi khalayak, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus terorisme. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus terorisme secara ”eksklusif” diantaranya dengan melakukan liputan langsung penyergapan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 baik yang didaerah Aceh terhadap kelompok teroris maupun yang di Jawa Timur terhadap Doktor Azhari dan Nurdin M Top. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai terorisme menjadi sensasional. Sementara dengan menggunakan teori budaya (cultural studies), lebih difokuskan pada individu khalayak. Bagaimana indivisu menilai, memberi makna dan tafsir kepada isi media. Apa yang dilakukan oleh individu ketika mengkonsumsi media. Bagaimana khalayak membaca berita-berita mengenai terorisme tersebut. Apa yang dilakukan oleh individu ketika membaca berita, apakah sedih, haru, dan sebagainya.
 Teori ekonomi politik melihat khalayak pasif. Apa yang yang disajikan oleh media dipandang akan diterima begitu saja oleh khalayak. Sebaliknya teori budaya (cultural studies) melihat khalayak sebagai khalayak aktif. Khalayak bisa memberi penafsiran yang berbeda dari apa yang disajikan oleh media. Ketika seseorang menerima pesan, orang akan mengkodekan pesan-pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman masa lalu seseorang.

B) Analisis atas perbedaan tersebut terhadap kasus pembunuhan/mutilasi yang dilakukan oleh Baikhuni/Babe.
 Dari teori ekonomi politik kasus tersebut lebih menekankan pada struktur. Bagaimana elit dan struktur ekonomi politik menggunakan media untuk menyebarkan gagasan atau pendapat kepada khalayak. Seperti dalam pemberitaan pada kasus tersebut, media banyak menampilkan sisi human interest dari para pelaku mutilasi, misalnya mengenai pengakuan para tetangga dan keluarga dekat mengenai kehidupan pelaku. Dengan pemberitaan seperti itu, seakan timbul kesan bahwa pelaku mutilasi mempunyai keterbelakangan mental. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai pembunuhan mutilasi, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus tersebut. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus tersebut dengan melakukan liputan yang mengclose up tubuh korban yang dimutilasi. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai mutilasi menjadi sensasional. Sementara dengan menggunakan teori budaya (cultural studies), lebih difokuskan pada individu khalayak. Bagaimana individu menggunakan media, menafsirkan dan memaknai pesan-pesan media. Pada kasus tersebut, Bagaimana individu menilai, memberi makna dan tafsir kepada isi media tentang kasus mutilasi. Apa yang dilakukan oleh individu ketika mengkonsumsi media. Bagaimana khalayak membaca berita-berita mengenai mutilasi tersebut. Apa yang dilakukan oleh individu ketika membaca berita, apakah sedih, haru, kesal, marah dan sebagainya akibat dari mutilasi itu yang dilakukan oleh si pelaku mutilasi.

Teori Propaganda

Uraian mengenai teori propaganda dari Edward S. Herman dan Noam Chomsky adalah :
Menurut Herman dan Chomsky (2002), media dilihat sebagai agen yang mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada publik. Pada model propaganda ini, fokusnya adalah pada perbedaan antara kekayaan dan kekuatan juga berbagai efek media massa yang bersifat multilevel dari berbagai kepentingan dan pilihan. Dalam model teori propaganda ini menggambarkan adanya filter (penyaring) yang mempresentasikan kekuatan politik yang ada. Informasi yang disajikan oleh media telah disaring oleh beberapa filter yang antara lain ada 5 yaitu :
1. Filter pertama : Ukuran, Kepemilikan dan Orientasi Profit dari media
Media mempunyai keterkaitan jaringan kepemilikan dengan institusi ekonomi lainnya (koorporasi, begara, bank dsb). Media yang dominan dikuasai oleh sedikit orang. Mereka yang menguasai media juga mempunyai kepemilikan pada bidang bisnis atau politik lain akibatnya media dikontrol oleh sedikit orang (Herman and Chomsky, 2002: 3-14).
2. Filter kedua : Pengiklan
Pengiklan mempengaruhi isi media secara langsung ataupun tidak langsung. Isi media merefleksikan perspektif dan kepentingan dari penjual, pembeli dan produk. Dan iklan adalah sumber utama bahkan bagi media. Seperti Televisi dan radio, hampir 100% pendapatan berasal dari iklan. Sementara untuk media cetak, antara 50-75% pendapatan berasala dari iklan.
3. Filter ketiga : Sumber Media
Media massa memerlukan sumber berita (narasumber). Sumber berita tersebut bisa orang yang mengetahui fakta (kejadian), bisa juga orang yang dianggap otoritatif dalam menjelaskan suatu peristiwa. Tanpa narasumber, berita media massa bisa menjadi sekedar rumor. Dan sumber berita penting untuk dua hal : pertama, kredibilitas berita, semakin sulit narasumber diraih, semakin prestise suatu berita. Kedua, media bisa mengklaim berita yang dihasilkan “objektif”. (Herman and Chomsky, 2002:19).
4. Filter keempat : Flak
Flak merujuk pada respon negatif pada program atau institusi media. Bisa berupa surat, petisi, telepon, gugatan hukum, dan bentuk-bentuk komplain dan protes lainnya (Herman and Chomsky, 2002:26). Flak bisa muncul secara sporadis tetapi bisa juga terorganisir oleh korporasi atau kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.
5. Filter kelima : Ideologi Anti komunisme
Filter ini dipahami sebagai ideologi yang membantu memobilisasi dukungan publik dalam melawan “musuh bersama”. Ideologi dan musuh bersama tersebut menyatukan media dan pandangan publik.

B) Analisis pemberitaan media dalam kasus sengketa Ambalat antara Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan teori propaganda yaitu :
Bahwa media di Indonesia memberitakan peristiwa Ambalat ini sebagai bentuk kecongkakkan Malaysia, ancaman kedaulatan Indonesia atau pencurian wilayah Indonesia oleh Malaysia. Dalam hal ini media di Indonesia tidak segan-segan kerap ”menganjurkan” atau mempropagandakan baik kepada publik maupun pemerintah untuk perang terbuka kepada Malaysia dibandingkan dengan membawa kasus ini kemeja perundingan Internasional. Melihat media sebagai agen yang mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan ke publik, propaganda ini menggambarkan adanya informasi yang difilter atau disaring karena mempresentasikan adanya kepentingan dan kekuatan ekonomi politik yang ada yaitu seperti yang disebutkan oleh Edward S. Herman and Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Manufacturing Consent : The Political Economy of Mass Media, dalam kasus sengketa Ambalat ini, informasi yang disajikan telah disaring dengan 2 filter yang mempresentasikan adanya kepentingan dan kekuatan ekonomi politik yang antara lain adalah :
1. Filter Pengiklan  Iklan yang sebagai sumber utama bagi media, maka media mengarahkan isi media ke arah ekonomi politik karena dengan pemberitaan yang sensasional ataupun propaganda ke publik maka akan banyak publik yang menonton ataupun membaca informasi tersebut, hal ini terkait pada angka rating terhadap media tersebut. Oleh sebab itu, pengiklan pun akan tertarik untuk mengiklankan programnya ke program tersebut.
2. Filter Ideologi Anti Komunisme  Karena filter ini dipahami sebagi ideologi yang membantu memobilisasi dukungan publik dalam melawan ”musuh bersama” dalam kasus sengketa Ambalat ini, ideologi dan musuh bersama itu adalah komunisme, yang pada kasus itu adalah Malaysia.

C) Kelemahan-Kelemahan Teori Propaganda
Pada teori propaganda ini, media dilihat sebagai agen yang mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada publik, tidak lagi mempunyai independensi karena media menjadi milik pribadi dan penyesoran tak berjalan dengan sesuai. Sehingga sering terjadi monopoli media dan sensorship media yang hanya menguntungkan para elit yang mendominasi negeri. Dan model propaganda ini fokusnya hanya pada perbedaan antara kekayaan dan kekuatan juga berbagai efek media massa yang bersifat multilevel dari berbagai kepentingan dan pilihan. Model ini menemukan bahwa uang dan kekuatan dapat saja menjadi filter dalam penyaringan News dan informasi yang akan dilayang pada khalayak, sehingga mengesampingkan penolakan, mengizinkan pemerintah atau para elit untuk mendapatlkan pesan melalui publik.
Dan informasi yang diterima publik pun telah disaring beberapa filter oleh media, yang disebabkan karena pemfilteran dari segi ukuran, kepemilikan, dan orientasi keuntungan media massa; sumber pendapatan dari iklan yang menjadikan hal tersebut menjadi bisnis; sumber informasi media massa yang narasumber sulit diraih sehingga prestise suatu berita semakin meningkat; flak dalam pelaksanaannya, maka informasi atau News tersebut sudah tidak objektif lagi karena sudah adanya intervensi dari kelompok atau kalangan yang berkepentingan.

Perbedaan antara “Liberal Political Economy” dengan “Critical Political Economy”

1. Perbedaan antara “Liberal Political Economy” dengan “Critical Political Economy” dalam pendekatan ekonomi politik media antara lain adalah :
Menurut Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) secara macro menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis. Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya. Contoh dari paradigma ini adalah paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural). Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem.
Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi 'kosmetik' seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat. Akar dari pendidikan semacam ini, dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Sehingga pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naïf.
Sedangkan dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik ini mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Ekonomi politik kritis adalah varian studi ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi bersifat holistik. Holistik disini lebih menekankan pada hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis. Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus. Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Dan contoh yang saya ambil dari paradigma ini adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial. Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system). Sehingga pendidikan kritis ini menghasilkan kesadaran kritis bagi manusianya.


2. A) Perbedaan tiga varian utama dalam studi ekonomi politik media antara lain
adalah : ( Lihat Golding and Murdock, 1991; Hidayat, 2001; Garnham, 1995)
 Instrumentalis
• Pandangan instrumentalis melihat bahwa media adalah alat (instrumen) dari kekuatan politik.
• Dan pandangan ini melihat adanya konspirasi antara pekerja media, pemilik modal dan penguasa yang menggunakan media sebagai instrumen politik media.
 Strukturalis
• Pandangan Strukturalis melihat bahwa pemberitaan media dan kecenderungannya lebih diakibatkan oleh struktur media itu sendiri, yang berupa persaingan antar media (yang diwujudkan dalam rating atau tiras) sedangkan struktur produksinya dalam organisasi media (yang antara lain menekankan standar nilai berita tertentu) dan sebagainya.
• Pada pandangan ini juga melihat bahwa ideologi pemberitaan media tidak hanya melekat pada pemilik atau pekerja media, tetapi juga melekat pada struktur industri media itu sendiri. Misalnya persaingan antar media yang akan menyebabkan media cenderung untuk memberitakan pada sisi tertentu karena berita tersebut lebih disukai oleh khalayak dan pengiklan.
 Kulturalis/ Konstruktivis
• Pandangan kulturalis melihat bahwa adanya hubungan saling kait mengait (interplay) antara struktur dan agensi.
• Dan pandangan ini menolak pandangan instrumentalis dan strukturalis yang melihat agen/pekerja media sebagai pihak yang pasif, melainkan melihat bahwa pekerja media mempunyai kecenderungan dan tendensi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan media.
• Serta melihat bahwa pemberitaan media adalah hasil negoisasi dan interplay antara struktur dengan agen pekerja media.

B) Dari uraian mengenai perbedaan antara pandangan Instrumentalis, Strukturalis dan Kulturalis/ Konstruktivis dapat dilengkapi dengan contoh kasus pada liputan media mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin yang antara lain adalah :
Media di Indonesia memberitakan atau meliput peristiwa mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin merupakan sebuah pemberitaan yang memiliki nilai berita yang sangat tinggi, yang sarat akan muatan-muatan yang berbau politik, keamanan atau keselamatan, kekuasaan atau aspek bisnis. Kecenderungan pemberitaan media ini pada kasus liputan mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin, dapat dijelaskan dalam tiga varian utama pada studi ekonomi politik media, yang bila dilihat dari pandangan kaum instrumentalis melihat kecenderungan seperti ini adalah hasil dari kepentingan teroris yang mempunyai keterkaitan dengan keinginan dari pemilik modal dan pekerja media, yaitu sebagai alat (instrumen) dari kehadiran kegiatan terorisme yang memerlukan publikasi melalui media. Keberhasilan sebuah kegiatan terorisme secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh pemberitaan tersebut yang dilakukan oleh media. Hal ini dimungkinkan karena tujuan utama dari kegiatan terorisme adalah usaha untuk menyampaikan pesan kepada pemegang kekuasaan. Begitu juga dengan pemilik modal dan pekerja media sebagai konspirasi terhadap instrumen politik media.
Sementara kaum strukturalis melihat bahwa kecenderungan media sebagai akibat dari struktur industri media itu sendiri yaitu pada aspek bisnisxa. Dalam pemberitaan mengenai terorisme, media banyak menampilkan sisi human interest dari para teroris, misalnya mengenai pengakuan orang tua dan keluarga dekat mengenai kehidupan teroris, perasaan anggota dan keluarga yang kehilangan, dan sebagainya. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin terkait dengan keamanan dan keselamatan bagi khalayak, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus terorisme. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus terorisme secara ”eksklusif” diantaranya dengan melakukan liputan langsung penyergapan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 baik yang didaerah Aceh terhadap kelompok teroris maupun yang di Jawa Timur terhadap Doktor Azhari dan Nurdin M Top. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai terorisme menjadi sensasional. Sedangkan pada kaum kulturalis/konstruktivis melihat adanya interplay antara struktur dan agen. Bahwa yang tersaji dimedia adalah hasil negoisasi diantara struktur politik ekonomi dengan keinginan dan kecenderungan pekerja media. Pekerja media mempunyai kecenderungan, keberpihakan sendiri yang ikut mewarnai pemberitaan media.

C) Dan menurut saya dalam konteks Indonesia, varian yang lebih sesuai untuk Indonesia adalah varian strukturalis, kenapa demikian? Karena menurut saya, bahwa ideologi pemberitaan media di Indonesia tidak hanya melekat pada pemilik modal atau pekerja media saja tetapi juga melekat pada struktur industri media itu sendiri atau aspek bisnis, yaitu pemberitaan yang cenderung memberitakan pada sisi tertentu baik itu kepentingan pemilik modal dan pekerja media untuk menarik pengiklan. Dan kecenderungan tersebut lebih diakibatkan oleh struktur media itu sendiri yang berupa persaingan antar media (yang diwujudkan dengan rating) seperti pada liputan eksklusif RCTI baru-baru ini mengenai liputan tentang Barack Obama di Gedung Putih, Washinton DC Amerika Serikat. Selain untuk menaikan rating karena kedatangan Obama ke Indonesia, hal tersebut juga ada kaitannya dengan kepentingan pemilik modal dan pekerja media tentang nominasi pemilihan Panasonic Gobel Award terhadap salah satu pekerja medianya yaitu Putra Nababan, yang akhirnya menjadi pemenang pada kategori presenter/pembaca berita terfavorit yang dikarenakan liputan eksklusifnya mengenai Barack Obama yang dijelaskan dalam acara tersebut.