Sabtu, 22 Mei 2010

Perbedaan antara “Liberal Political Economy” dengan “Critical Political Economy”

1. Perbedaan antara “Liberal Political Economy” dengan “Critical Political Economy” dalam pendekatan ekonomi politik media antara lain adalah :
Menurut Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) secara macro menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis. Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya. Contoh dari paradigma ini adalah paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural). Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem.
Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi 'kosmetik' seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat. Akar dari pendidikan semacam ini, dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Sehingga pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naïf.
Sedangkan dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik ini mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Ekonomi politik kritis adalah varian studi ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi bersifat holistik. Holistik disini lebih menekankan pada hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis. Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus. Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Dan contoh yang saya ambil dari paradigma ini adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial. Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system). Sehingga pendidikan kritis ini menghasilkan kesadaran kritis bagi manusianya.


2. A) Perbedaan tiga varian utama dalam studi ekonomi politik media antara lain
adalah : ( Lihat Golding and Murdock, 1991; Hidayat, 2001; Garnham, 1995)
 Instrumentalis
• Pandangan instrumentalis melihat bahwa media adalah alat (instrumen) dari kekuatan politik.
• Dan pandangan ini melihat adanya konspirasi antara pekerja media, pemilik modal dan penguasa yang menggunakan media sebagai instrumen politik media.
 Strukturalis
• Pandangan Strukturalis melihat bahwa pemberitaan media dan kecenderungannya lebih diakibatkan oleh struktur media itu sendiri, yang berupa persaingan antar media (yang diwujudkan dalam rating atau tiras) sedangkan struktur produksinya dalam organisasi media (yang antara lain menekankan standar nilai berita tertentu) dan sebagainya.
• Pada pandangan ini juga melihat bahwa ideologi pemberitaan media tidak hanya melekat pada pemilik atau pekerja media, tetapi juga melekat pada struktur industri media itu sendiri. Misalnya persaingan antar media yang akan menyebabkan media cenderung untuk memberitakan pada sisi tertentu karena berita tersebut lebih disukai oleh khalayak dan pengiklan.
 Kulturalis/ Konstruktivis
• Pandangan kulturalis melihat bahwa adanya hubungan saling kait mengait (interplay) antara struktur dan agensi.
• Dan pandangan ini menolak pandangan instrumentalis dan strukturalis yang melihat agen/pekerja media sebagai pihak yang pasif, melainkan melihat bahwa pekerja media mempunyai kecenderungan dan tendensi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan media.
• Serta melihat bahwa pemberitaan media adalah hasil negoisasi dan interplay antara struktur dengan agen pekerja media.

B) Dari uraian mengenai perbedaan antara pandangan Instrumentalis, Strukturalis dan Kulturalis/ Konstruktivis dapat dilengkapi dengan contoh kasus pada liputan media mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin yang antara lain adalah :
Media di Indonesia memberitakan atau meliput peristiwa mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin merupakan sebuah pemberitaan yang memiliki nilai berita yang sangat tinggi, yang sarat akan muatan-muatan yang berbau politik, keamanan atau keselamatan, kekuasaan atau aspek bisnis. Kecenderungan pemberitaan media ini pada kasus liputan mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin, dapat dijelaskan dalam tiga varian utama pada studi ekonomi politik media, yang bila dilihat dari pandangan kaum instrumentalis melihat kecenderungan seperti ini adalah hasil dari kepentingan teroris yang mempunyai keterkaitan dengan keinginan dari pemilik modal dan pekerja media, yaitu sebagai alat (instrumen) dari kehadiran kegiatan terorisme yang memerlukan publikasi melalui media. Keberhasilan sebuah kegiatan terorisme secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh pemberitaan tersebut yang dilakukan oleh media. Hal ini dimungkinkan karena tujuan utama dari kegiatan terorisme adalah usaha untuk menyampaikan pesan kepada pemegang kekuasaan. Begitu juga dengan pemilik modal dan pekerja media sebagai konspirasi terhadap instrumen politik media.
Sementara kaum strukturalis melihat bahwa kecenderungan media sebagai akibat dari struktur industri media itu sendiri yaitu pada aspek bisnisxa. Dalam pemberitaan mengenai terorisme, media banyak menampilkan sisi human interest dari para teroris, misalnya mengenai pengakuan orang tua dan keluarga dekat mengenai kehidupan teroris, perasaan anggota dan keluarga yang kehilangan, dan sebagainya. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin terkait dengan keamanan dan keselamatan bagi khalayak, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus terorisme. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus terorisme secara ”eksklusif” diantaranya dengan melakukan liputan langsung penyergapan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 baik yang didaerah Aceh terhadap kelompok teroris maupun yang di Jawa Timur terhadap Doktor Azhari dan Nurdin M Top. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai terorisme menjadi sensasional. Sedangkan pada kaum kulturalis/konstruktivis melihat adanya interplay antara struktur dan agen. Bahwa yang tersaji dimedia adalah hasil negoisasi diantara struktur politik ekonomi dengan keinginan dan kecenderungan pekerja media. Pekerja media mempunyai kecenderungan, keberpihakan sendiri yang ikut mewarnai pemberitaan media.

C) Dan menurut saya dalam konteks Indonesia, varian yang lebih sesuai untuk Indonesia adalah varian strukturalis, kenapa demikian? Karena menurut saya, bahwa ideologi pemberitaan media di Indonesia tidak hanya melekat pada pemilik modal atau pekerja media saja tetapi juga melekat pada struktur industri media itu sendiri atau aspek bisnis, yaitu pemberitaan yang cenderung memberitakan pada sisi tertentu baik itu kepentingan pemilik modal dan pekerja media untuk menarik pengiklan. Dan kecenderungan tersebut lebih diakibatkan oleh struktur media itu sendiri yang berupa persaingan antar media (yang diwujudkan dengan rating) seperti pada liputan eksklusif RCTI baru-baru ini mengenai liputan tentang Barack Obama di Gedung Putih, Washinton DC Amerika Serikat. Selain untuk menaikan rating karena kedatangan Obama ke Indonesia, hal tersebut juga ada kaitannya dengan kepentingan pemilik modal dan pekerja media tentang nominasi pemilihan Panasonic Gobel Award terhadap salah satu pekerja medianya yaitu Putra Nababan, yang akhirnya menjadi pemenang pada kategori presenter/pembaca berita terfavorit yang dikarenakan liputan eksklusifnya mengenai Barack Obama yang dijelaskan dalam acara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar