Sabtu, 22 Mei 2010

Teori Ekonomi Politik Media VS Teori Budaya (Cultural Studies)

A) Perbedaan utama antara teori ekonomi politik media dengan teori budaya
(Cultural Studies) antara lain adalah :
Perbedaan antara kedua teori tersebut bisa dilacak dengan melihat perbedaan paradigma teori. Secara umum ada dua teori :
1. Teori Mikro (microscopic) yang memusatkan perhatian pada individu, bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan dan memahami media.
2. Teori Makro (macroscopic) bahwa teori ini tidak tertarik pada individu, tetapi lebih memusatkan perhatian pada struktur ekonomi politik. Dalam teori ini, para elit dilihat menggunakan kekuatan ekonomi politik untuk mempertahankan posisi mereka.

Bisa digambarkan pada tabel berikut : (Disarikan dari Baran and Davis, 2000:216)
Teori Mikro (microscopic) Teori Makro (macroscopic)
 Fokus pada individu  Fokus pada struktur
 Bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan media, memahami dan membentuk budaya dalam kehidupan sehari-hari.  Bagaimana elit menggunakan media untuk mempertahankan posisi mereka. Berusaha memahami bagaimana kekuatan ekonomi dan politik menjadi dasar bagi kekuatan ekonomi politik didalam masyarakat.
 Teori mikro  Teori makro

 Teori budaya bisa dikategorikan sebagai teori mikro. Teori ini berupaya memahami bagaimana media dipakai dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara teori ekonomi politik melihat bagaimana seseorang dipengaruhi oleh media, dan media itu sendiri dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik.
 Teori ekonomi politik lebih menekankan pada struktur. Bagaimana elit dan struktur ekonomi politik menggunakan media untuk menyebarkan gagasan atau pendapat kepada khalayak. Sementara teori budaya berfokus pada individu. Bagaimana individu menggunakan media, menafsirkan dan memaknai pesan-pesan media. Misalnya, penelitian mengenai pemberitaan media dalam kasus terorisme, media banyak menampilkan sisi human interest dari para teroris, misalnya mengenai pengakuan orang tua dan keluarga dekat mengenai kehidupan teroris, perasaan anggota keluarga yang kehilangan, dan sebagainya. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai terorisme di Aceh dan tewasnya Dulmatin terkait dengan keamanan dan keselamatan bagi khalayak, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus terorisme. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus terorisme secara ”eksklusif” diantaranya dengan melakukan liputan langsung penyergapan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 baik yang didaerah Aceh terhadap kelompok teroris maupun yang di Jawa Timur terhadap Doktor Azhari dan Nurdin M Top. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai terorisme menjadi sensasional. Sementara dengan menggunakan teori budaya (cultural studies), lebih difokuskan pada individu khalayak. Bagaimana indivisu menilai, memberi makna dan tafsir kepada isi media. Apa yang dilakukan oleh individu ketika mengkonsumsi media. Bagaimana khalayak membaca berita-berita mengenai terorisme tersebut. Apa yang dilakukan oleh individu ketika membaca berita, apakah sedih, haru, dan sebagainya.
 Teori ekonomi politik melihat khalayak pasif. Apa yang yang disajikan oleh media dipandang akan diterima begitu saja oleh khalayak. Sebaliknya teori budaya (cultural studies) melihat khalayak sebagai khalayak aktif. Khalayak bisa memberi penafsiran yang berbeda dari apa yang disajikan oleh media. Ketika seseorang menerima pesan, orang akan mengkodekan pesan-pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman masa lalu seseorang.

B) Analisis atas perbedaan tersebut terhadap kasus pembunuhan/mutilasi yang dilakukan oleh Baikhuni/Babe.
 Dari teori ekonomi politik kasus tersebut lebih menekankan pada struktur. Bagaimana elit dan struktur ekonomi politik menggunakan media untuk menyebarkan gagasan atau pendapat kepada khalayak. Seperti dalam pemberitaan pada kasus tersebut, media banyak menampilkan sisi human interest dari para pelaku mutilasi, misalnya mengenai pengakuan para tetangga dan keluarga dekat mengenai kehidupan pelaku. Dengan pemberitaan seperti itu, seakan timbul kesan bahwa pelaku mutilasi mempunyai keterbelakangan mental. Dalam hal ini, media di Indonesia (terutama televisi) saling bersaing menyajikan berita. Khalayak juga menyukai berita mengenai pembunuhan mutilasi, sehingga membuat media terus-menerus memberitakan kasus tersebut. Persaingan ini juga terbawa pada proses pembuatan berita. Media bersaing menyajikan pemberitaan kasus tersebut dengan melakukan liputan yang mengclose up tubuh korban yang dimutilasi. Pola pemberitaan seperti ini pada akhirnya membuat liputan mengenai mutilasi menjadi sensasional. Sementara dengan menggunakan teori budaya (cultural studies), lebih difokuskan pada individu khalayak. Bagaimana individu menggunakan media, menafsirkan dan memaknai pesan-pesan media. Pada kasus tersebut, Bagaimana individu menilai, memberi makna dan tafsir kepada isi media tentang kasus mutilasi. Apa yang dilakukan oleh individu ketika mengkonsumsi media. Bagaimana khalayak membaca berita-berita mengenai mutilasi tersebut. Apa yang dilakukan oleh individu ketika membaca berita, apakah sedih, haru, kesal, marah dan sebagainya akibat dari mutilasi itu yang dilakukan oleh si pelaku mutilasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar